oleh: Yusran Darmawan*
Selain kisah-kisah reinkarnasi di Buton, tersimpan pula cerita tentang mereka yang jasadnya lenyap sebelum dimakamkan, serta para wali yang tubuhnya “enggan dimakan tanah”. Di Pulau Muna, ada pula kisah mereka yang memilih untuk menjadi hewan.
***
Di Baadia, sebuah wilayah tua di jantung Kesultanan Buton, kematian tidak selalu mengikuti pola yang kita kenal. Di antara rumah-rumah panggung yang renta dimakan usia, cerita-cerita itu beredar lirih, dibisikkan para tetua ke telinga generasi berikutnya.
Antropolog asal Belanda, Prof JW Schoorl, meneliti fenomena ini secara mendalam dalam artikelnya tahun 1985 di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde berjudul Belief in Reincarnation on Buton, S.E.
Schoorl merekam kisah-kisah tentang orang-orang pilihan: para wali yang menghilang di kubur, yang disebut walikuburu, “wali kubur” yang diyakini menolak dimakan tanah.
Salah satunya adalah kisah La Ode Mbarube, seorang lakina (kepala wilayah) Baadia yang masyhur karena kesalehan dan kebijaksanaannya. Hidupnya sederhana, tetapi wibawanya memancar.
BACA: Kisah Reinkarnasi di Buton, Menjembatani Kelahiran dan Kematian
Ketika saatnya tiba, ia memanggil menteri besar, pejabat tertinggi di bawah sultan, dan berkata tenang, “Saya akan pergi.” Bukan ancaman, bukan keluhan sakit, melainkan pernyataan pamit yang dimengerti semua orang di sekitarnya: Mbarube sedang bersiap untuk perjalanan terakhirnya.
Ia wafat tak lama kemudian. Proses memandikan jenazah berjalan seperti biasa, hingga para pemandi mulai saling pandang. Air yang disiram ke tubuhnya terasa seolah dihirup dan diembuskan kembali.
Sesekali tubuhnya bergetar halus, memberi isyarat seperti orang kedinginan. Namun ritual tetap dilanjutkan; kain kafan membungkus rapi jasadnya, lalu diusung menuju liang lahat.
Di tepi kubur, saat kain kafan dibuka untuk prosesi terakhir, yang tersisa hanyalah lipatan kain putih kosong. Tidak ada tubuh. Tidak ada tanda bahwa jasad pernah terbaring di sana.
Bagi masyarakat Baadia, itu bukan misteri yang perlu dipecahkan. Mereka percaya Mbarube telah “menyeberang” langsung ke alam arwah, tahap keempat dalam murtabat tujuh, kosmologi Buton tentang tujuh tingkatan keberadaan. Cara wafat seperti ini dipandang sebagai puncak pencapaian: melompati siklus kelahiran kembali, langsung menuju tingkat kesadaran berikutnya.
Schoorl juga mencatat kisah serupa di Lia, Pulau Wanci. Di sini, istilah walikuburu disertai ungkapan “enggan dimakan tanah.” Bagi mereka, itu bukan sekadar metafora, melainkan tanda spiritual: orang yang mencapai kesucian tertentu tidak lagi mati seperti manusia kebanyakan.
Mereka memilih kembali ke alam roh melalui jalan yang hanya diketahui mereka dan Tuhan. Walikuburu diyakini memiliki pengetahuan batin, mampu melihat yang tak kasat mata, membaca tanda-tanda yang luput dari orang lain, bahkan menentukan sendiri waktu dan tempat kematiannya.
Namun Schoorl juga mencatat jalur lain bagi mereka yang tak kembali sebagai manusia: dauru, perubahan wujud roh menjadi hewan. Berbeda dengan banyak budaya yang menganggapnya kutukan, di Muna dauru justru dianggap sebagai tanda kesucian dan pengetahuan mistis.
Salah satu kisah paling terkenal adalah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (1491–1537). Menguasai ilmu kebatinan tinggi, ia suatu hari melihat kulitnya mulai bersisik menyerupai buaya. Putranya, Sangia Wambulu, mengajaknya mandi di laut.
Di tepi pantai, Sangia-i-rape meletakkan sarung di atas batu. Begitu air laut menyentuh tubuhnya, ia berubah menjadi buaya dan berenang menjauh, memasuki dunia hewan untuk memahami kehidupan dari sudut pandang lain.
>> Baca Selanjutnya