Budaya

Sisi Lain Reinkarnasi di Buton, dan Kisah Mereka yang Menolak Pulang




Ada pula kisah La Ode Wuna, adik Sultan Murhum, yang tubuhnya setengah manusia, setengah ular. Suatu ketika ia membuat ibunya terpesona hingga terjadi hubungan terlarang. Hukuman mati menantinya.

Namun sebelum eksekusi di sebuah tempat antara Wakarumba dan Pola, ia berubah menjadi air, membentuk Sungai Uwe Igoraaka. Hingga kini, warga memanggil namanya saat kemarau panjang, percaya hujan akan turun.

Bagi masyarakat Muna, kisah-kisah ini menegaskan bahwa batas antara manusia dan hewan hanyalah selapis tipis dalam perjalanan roh. Kehidupan dipandang sebagai rangkaian wujud yang saling terhubung, manusia, hewan, tumbuhan, bahkan unsur alam seperti air dan angin hanyalah rumah sementara bagi roh dalam siklus panjangnya.

Dauru bukan sekadar transformasi fisik, melainkan jembatan pengalaman lintas bentuk kehidupan. Ia memungkinkan roh merasakan dunia melalui mata, telinga, dan insting makhluk lain.

Dengan demikian, dauru bukanlah akhir dari kemanusiaan, melainkan perluasan makna menjadi manusia itu sendiri, membebaskan roh dari batas tubuh dan peran tunggal, untuk memperkaya kesadaran serta menjaga keseimbangan antara manusia, hewan, dan alam.

Bagi masyarakat Buton dan Muna, baik walikuburu maupun dauru adalah kisah tentang mereka yang memilih untuk tidak kembali, mereka yang melampaui batas tubuh dan menembus tirai dunia ini.

Mereka tidak lagi terikat pada jalan yang ditempuh kebanyakan manusia: lahir, hidup, mati, lalu kembali ke bumi. Sebaliknya, mereka menempuh jalur yang jarang dilalui, melangkah keluar dari arus besar reinkarnasi atau siklus alam, menuju ruang yang berada di luar jangkauan pemahaman kebanyakan orang.

Di mata orang-orang yang hidup di tanah ini, keberangkatan seperti itu bukan sekadar fenomena aneh yang memancing rasa ingin tahu. Ia adalah tanda pencapaian spiritual, bukti bahwa manusia dapat membebaskan diri dari rantai kelahiran dan kematian jika hidupnya ditempa dengan kesucian, kebijaksanaan, dan kedekatan yang tulus dengan Yang Mahakuasa.

Kisah-kisah ini juga menjadi semacam penegasan bahwa kehidupan tidak pernah hanya memiliki satu pintu keluar. Ada jalur-jalur rahasia, tersembunyi di antara lapisan dunia yang kasat mata dan dunia yang tak terlihat, yang hanya terbuka bagi mereka yang siap.

Sebagian jalur mungkin berujung pada dunia roh, sebagian lagi membawa ke wujud lain: buaya yang mengarungi sungai dalam kesunyian, atau ular yang meliuk di hutan, atau bahkan menjadi air yang mengalir, menyentuh setiap yang haus.

Kisah walikuburu dan dauru berarti mengingat bahwa tubuh hanyalah wadah sementara, dan bahwa pulang tidak selalu berarti kembali ke tanah.

Dalam imajinasi mereka, roh adalah pengembara yang bebas memilih bentuk dan arah perjalanannya. Dan di setiap pilihan itu, tersimpan pesan sunyi: bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan kelanjutan dari kisah yang tak pernah benar-benar usai.

Seperti kata Jalaluddin Rumi:“Goodbyes are only for those who love with their eyes. For those who love with heart and soul, there is no such thing as separation.”

Selamat tinggal hanyalah bagi mereka yang mencintai dengan mata. Bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tidak ada yang namanya perpisahan.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.