Oleh: Yusran Darmawan*
Ombak kecil menghempas lambung kapal kayu yang bersandar di Pelabuhan Murhum, Baubau. Matahari sore merayap perlahan di ufuk barat, membiaskan cahaya keemasan di permukaan laut. Seorang perempuan Jepang menjejakkan kaki di dermaga kayu, ransel tergantung di pundaknya. Hiroko K. Yamaguchi baru saja tiba di Pulau Buton, membawa segenggam rasa ingin tahu dan setumpuk pertanyaan.
Bukan tanpa alasan perempuan itu menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Jepang ke pelosok Sulawesi Tenggara. Buton, bekas pusat kerajaan maritim yang pernah berjaya di Nusantara, menyimpan ratusan manuskrip kuno. Bagi Hiroko, lembaran-lembaran tua itu bukan sekadar artefak sejarah. Mereka adalah saksi peradaban, rekaman hidup yang bisa berbicara jika dibaca dengan cermat.
Banyak peneliti asing telah mengkaji Buton, terutama dari Belanda. JW Schoorl menulis sejarah Buton, J. Anceaux menyusun kamus bahasa Wolio, dan Adrian Lapian meneliti jalur pelayaran Buton dalam konteks sejarah maritim Nusantara. Dari Indonesia, Prof. Dr. Susanto Zuhdi mendedikasikan lebih dari dua dekade untuk meneliti sejarah dan budaya Buton. Namun, tidak banyak yang berasal dari Jepang.
Hiroko K. Yamaguchi adalah pengecualian. Ia adalah seorang profesor di Fakultas Humaniora, Departemen Budaya Komparatif, Universitas Kitakyushu. Sebelumnya, ia pernah menjadi dosen di Okayama Prefectural University. Namanya mungkin belum banyak dikenal di Indonesia, tetapi dalam dunia akademik Jepang, ia termasuk salah satu peneliti terkemuka yang mendalami kebudayaan Asia Tenggara.
Salah satu risetnya yang penting adalah Relationships among Buton Kingdom and Surrounding Powers in the Sixteenth and Seventeenth Centuries. Dalam studinya, Hiroko menelusuri bagaimana Kesultanan Buton berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan besar di kawasan, termasuk Kesultanan Gowa, VOC Belanda, dan jaringan perdagangan Asia.
Buton bukan sekadar kerajaan kecil di pesisir, tetapi pemain penting dalam geopolitik maritim pada masanya.
Selain itu, ia juga meneliti naskah-naskah Buton dalam risetnya yang berjudul Historical Manuscripts of Buton: A Study on the Literary and Political Culture of a Maritime Kingdom in Indonesia.
Dalam penelitian ini, Hiroko mengkaji bagaimana teks-teks kuno Buton tidak hanya berisi catatan sejarah, tetapi juga mencerminkan struktur sosial dan nilai-nilai politik Kesultanan Buton. Ia menemukan bahwa banyak manuskrip Buton yang berisi ajaran moral dan strategi kepemimpinan, menunjukkan bahwa Buton adalah kerajaan yang tidak hanya berorientasi pada perdagangan, tetapi juga memiliki tradisi intelektual yang kuat.
Naskah-Naskah Tua di Negeri Kesultanan
Di sebuah rumah panggung sederhana di Bau-Bau, Hiroko duduk bersila di hadapan tumpukan naskah tua. Kertas-kertas lapuk beraksara Arab Melayu itu tersimpan dalam peti kayu, beberapa sudah menguning dimakan usia.
Tuan rumah, seorang kolektor naskah, menyerahkan satu manuskrip dengan hati-hati. "Ini peninggalan Abdul Mulku Zahari," katanya, menyebut nama mantan sekretaris Sultan Buton terakhir.
Hiroko membalik halaman pertama dengan jemari ringan. Di balik goresan tinta yang memudar, tersimpan hukum adat, hikayat, hingga strategi perang yang dulu dipakai Kesultanan Buton. Ada lebih dari 350 naskah seperti ini di berbagai tempat, masing-masing mengisahkan sejarah yang nyaris terlupakan.