
Suasana di Masjid Keraton Buton
Kesultanan Buton bukan sekadar kerajaan biasa. Pemerintahannya tak hanya mengandalkan garis keturunan, tetapi juga meritokrasi. Ada sistem yang disebut Sarana Wolio, struktur sosial yang mengatur peran setiap orang dalam masyarakat.
Golongan bangsawan, atau Kaomu, menduduki posisi pemerintahan dan memiliki hak istimewa. Sementara itu, Walaka—para pemikir dan penasihat—bertanggung jawab dalam menyusun hukum serta kebijakan kerajaan. Di lapisan bawah, masyarakat umum yang disebut Papara menjalankan roda ekonomi, sementara Batua—golongan pekerja—mengerjakan tugas-tugas fisik yang dianggap lebih rendah.
Hiroko menemukan sesuatu yang familiar dalam struktur ini. Sistem sosial Buton mengingatkannya pada konsep Giri Shakai di Jepang, tatanan sosial yang berlandaskan kewajiban moral dan hubungan timbal balik dalam masyarakat.
Di Jepang era feodal, samurai dan daimyo memegang kendali pemerintahan dan militer. Para pedagang dan pengusaha menopang ekonomi, sementara petani dan nelayan menjalankan kehidupan sehari-hari. Di lapisan terbawah ada golongan eta dan hinin, yang sering kali dianggap berada di luar sistem sosial utama.
Kesamaan ini menarik bagi Hiroko. Sarana Wolio dan Giri Shakai sama-sama bukan sekadar sistem sosial, tetapi juga pedoman moral. Di Buton, kehormatan dan tanggung jawab sosial menjadi nilai utama, sebagaimana dalam konsep giri di Jepang, di mana seseorang harus menjaga harmoni dan memenuhi kewajibannya dengan penuh kehormatan.
Ia juga menemukan kesamaan antara naskah-naskah Buton dengan manuskrip kuno Jepang yang membahas strategi kepemimpinan dan administrasi negara. Ia mengaitkan beberapa konsep dalam naskah Buton dengan prinsip Bushido di Jepang—kode etik para samurai yang menekankan kehormatan, kesetiaan, dan tanggung jawab sosial.
“Bahkan dalam kebudayaan yang berjauhan secara geografis, kita bisa menemukan benang merah,” katanya.
Namun, Hiroko juga sadar bahwa naskah-naskah itu terancam punah. Banyak yang sudah rusak atau tercecer. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar naskah Buton justru tersimpan jauh dari tanah kelahirannya.
Menjaga Warisan, Menyelamatkan Ingatan
Di sebuah ruang baca di Tokyo, Hiroko duduk di depan meja kayu, dikelilingi rak-rak penuh buku. Cahaya lampu neon memantul di permukaan kaca jendela, memperlihatkan siluet kota yang tak pernah tidur. Di tangannya, sebuah buku tentang samurai di era modern terbuka.
Ia membaca bagaimana Jepang, yang dulu dipimpin oleh kelas samurai, harus beradaptasi ketika zaman berubah. Samurai yang dulu gagah di medan perang, kini menjelma menjadi pemimpin di dunia bisnis, politik, bahkan akademisi.
Lalu pikirannya melayang ke Buton.