Internasional

Suara Nurani dari Panggung Sepak Bola: Ketika Pep Guardiola Menolak Diam atas Tragedi Gaza

Pepe

MANCHESTER CITY, UNHAS.TV – Dalam dunia yang kian bising namun penuh pembiaran, terkadang suara yang paling menggugah justru datang dari tempat yang tak terduga: lapangan sepak bola. Namun pada Senin, 9 Juni 2024, sebuah pidato menyentuh disampaikan bukan di stadion, melainkan di Whitworth Hall, Universitas Manchester, dalam momen resmi pemberian gelar doktor kehormatan kepada Pep Guardiola oleh institusi tersebut. Dalam pidatonya, pelatih Manchester City ini menyuarakan hal yang jauh lebih mendalam dari strategi permainan: tentang Gaza, anak-anak, dan keberanian untuk tidak tinggal diam.

Guardiola, dengan nada tulus dan tanpa retorika politik, menyampaikan kegelisahan personal yang lahir dari tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di Palestina. “Melihat apa yang terjadi di sana sungguh menyakitkan. Tubuh saya seolah terbakar karenanya,” ujarnya di hadapan para akademisi, mahasiswa, dan tamu undangan. Ia menolak dikotakkan dalam ideologi. Pesannya sederhana namun menyentak: ini bukan soal politik, tapi soal cinta terhadap kehidupan dan rasa tanggung jawab terhadap penderitaan yang berlangsung di sekitar kita.

Ketika sebagian dunia memilih bungkam, Guardiola tidak. Ia mengangkat kisah anak-anak Gaza—yang menjadi korban bom, terkubur di balik reruntuhan rumah sakit yang kini tak lagi berfungsi, dan harus hidup tanpa pendidikan. Ia juga mengingatkan: jika hari ini kita merasa semua itu bukan urusan kita, besok bisa jadi yang menjadi korban adalah anak-anak kita sendiri. “Saya memikirkan anak-anak saya—Maria, Marius, dan Valentina—dan merasa ketakutan,” katanya jujur.

Menurut data Kementerian Kesehatan di Gaza, sejak 7 Oktober 2023, sedikitnya 17.400 anak tewas, 15.600 di antaranya telah berhasil diidentifikasi. Separuh dari 2,3 juta penduduk Gaza adalah anak-anak. Banyak yang selamat hanya untuk menyaksikan kehancuran berulang: sekolah hancur, rumah tinggal rata dengan tanah, layanan kesehatan lumpuh, dan hidup terperangkap dalam blokade yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Mereka tumbuh bukan dalam dekapan pendidikan, melainkan dalam ketakutan dan kelaparan.

Guardiola tidak hanya menyoroti Gaza. Ia juga menyinggung Sudan, Ukraina, dan negeri-negeri lain yang terjerat dalam siklus kekerasan dan kemunafikan global. Kritiknya tak hanya tertuju pada pemimpin politik, tetapi juga kepada siapa pun yang punya kuasa, tetapi memilih abai. “Di tengah ribuan keluarga yang dibantai dan dibiarkan kelaparan, kita dikelilingi oleh kepemimpinan yang gagal mengindahkan ketimpangan dan ketidakadilan,” tegasnya.

Untuk menggambarkan pentingnya keberanian dalam skala individu, Guardiola mengisahkan sebuah alegori sederhana: burung kecil yang berulang kali terbang membawa setetes air di paruhnya untuk memadamkan hutan yang terbakar. Ia ditertawakan oleh hewan lain, namun ia menjawab: “Aku hanya menjalankan tanggung jawabku.” Guardiola menutup dengan pesan reflektif, bahwa kekuatan bukan soal jumlah, tetapi soal kemauan untuk hadir, untuk bertindak, dan untuk menolak diam—meskipun hanya satu suara.

 War in Gaza 'hurts my whole body', says Man. City boss. Kredit: Sport Desk-Times.
War in Gaza 'hurts my whole body', says Man. City boss. Kredit: Sport Desk-Times.


Opini ini lahir bukan dari aktivis HAM, bukan dari pemuka agama, dan bukan dari organisasi kemanusiaan. Ia datang dari seorang pelatih sepak bola. Tapi justru karena itulah pesannya menampar lebih keras: sebab di dunia yang menyuguhkan hiburan tanpa henti, suara dari ruang hening seperti inilah yang terasa paling jujur. Guardiola tidak berbicara sebagai tokoh politik. Ia berbicara sebagai ayah, sebagai manusia.

Laporan Komisi Independen PBB yang dirilis pada awal Juni 2024 menyebut bahwa Israel telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemusnahan (extermination) dengan menargetkan warga sipil Palestina yang berlindung di sekolah dan tempat ibadah. Walau penghancuran fasilitas pendidikan tidak serta merta diklasifikasikan sebagai tindakan genosida, laporan tersebut menilai bahwa intensitas dan penyebarannya menunjukkan indikasi kuat adanya niat untuk menghancurkan satu kelompok masyarakat yang dilindungi hukum internasional.

Apa yang disampaikan Guardiola, dan apa yang dibuktikan oleh data-data tersebut, seharusnya menggugah kita. Jika suara hati seorang pelatih sepak bola bisa menyuarakan yang tak mampu dikatakan oleh para pemegang kekuasaan, maka mestinya kita pun tak perlu menunggu posisi atau panggung untuk mulai bersuara. Kita hanya perlu satu hal: kemauan untuk tidak ikut-ikutan diam.

Karena dalam dunia yang sibuk meyakinkan kita bahwa satu suara terlalu kecil untuk mengubah apa pun, kita harus tetap percaya bahwa diam adalah bentuk keterlibatan paling sunyi dalam kekejaman.(*)