UNHAS.TV - Di ruang praktik lantai 2 Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Hasanuddin, seorang anak perempuan duduk tenang di kursi pemeriksaan. Ia baru saja menyelesaikan perawatan ortodonti, sebuah prosedur untuk mengoreksi posisi gigi yang tidak sejajar.
Senyum malu-malu tampak dari wajahnya, sementara sang ibu menyampaikan kekhawatiran kepada dokter. Ini adalah kali kedua putrinya menjalani perawatan untuk gigi tonggos. Mengapa masalah yang sama kembali terulang?
Fenomena relaps atau kekambuhan gigi tonggos setelah perawatan bukanlah kasus yang jarang. Banyak orang tua yang mengira bahwa perawatan yang dijalani anak mereka tidak berhasil atau gagal.
Menurut Prof Dr drg Muh Harun Achmad MKes SpKGA Subsp.KKA(K) FSASS, pakar kedokteran gigi anak dari Universitas Hasanuddin, penyebab utama dari relaps ini bukan semata-mata karena kesalahan perawatan, melainkan karena etiologi atau akar masalah yang belum tuntas ditangani.
“Karena selama ini kegagalan-kegagalan yang terjadi ketika dilakukan perawatan, karena masih banyak teman-teman yang langsung melakukan terapi tanpa analisis yang kuat terkait apa etiologinya,” jelas Prof. Harun saat diwawancarai Unhas.TV.
"Kalau kita tidak tepat menentukan penyebab, maka ya mungkin saja terjadi relaps. Misalnya tonggos bisa dimundurkan, tapi kembali tonggos lagi karena fungsi otot bibir atau pipi belum beres," lanjutnya.
Gigi tonggos atau dalam istilah medis disebut protrusi anterior, terjadi ketika gigi depan atas terlalu maju dibandingkan gigi bawah.
Menurut Prof Harun, ada faktor kebiasaan yang sering luput dari perhatian, seperti anak yang suka bernapas lewat mulut, menjulurkan lidah saat menelan, atau mengisap jempol. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mendorong gigi kembali ke posisi tonggos, meski sebelumnya sudah dirapikan.
Selain itu, pertumbuhan rahang yang belum berhenti juga jadi tantangan tersendiri. Pada masa pertumbuhan, rahang anak akan terus berkembang, dan bila tidak dikawal dengan terapi yang sesuai, posisi gigi yang telah diperbaiki bisa tergeser kembali.
Dalam penanganan gigi tonggos, Prof. Harun menekankan pentingnya pendekatan holistik—yakni tidak hanya memindahkan posisi gigi, tapi juga memastikan fungsi otot-otot mulut bekerja normal.
Oleh sebab itu, pengawasan pasca-perawatan menjadi krusial. Terapi ortodonti idealnya diikuti dengan terapi fungsional dan modifikasi kebiasaan, di bawah pengawasan dokter gigi anak.
“Kalau hanya memperbaiki posisi gigi tapi tidak mengoreksi fungsi otot bibir atau lidah yang menyebabkannya tonggos sejak awal, maka besar kemungkinan hasil perawatan tidak bertahan lama,” tambahnya.
Edukasi Orang Tua Jadi Kunci
Dari perspektif orang tua, ketidaktahuan sering menjadi faktor penghambat keberhasilan perawatan. Banyak yang menganggap tugas selesai begitu anak dilepas dari behel atau alat ortodonti.
Padahal, masa pemeliharaan pasca-perawatan justru sangat penting. Disiplin kontrol rutin, membiasakan anak untuk bernapas melalui hidung, serta menghentikan kebiasaan buruk perlu menjadi rutinitas sehari-hari.
Seperti yang dialami Ibu Lestari, orang tua pasien yang menjalani kontrol ulang hari itu. “Dulu sempat rapi, tapi enam bulan kemudian mulai tonggos lagi. Sekarang saya baru tahu ternyata anak saya masih sering dorong lidah ke gigi,” ujarnya.
Perawatan gigi tonggos bukan hanya soal estetika. Gigi yang tidak sejajar dapat mengganggu proses mengunyah, artikulasi bicara, bahkan menurunkan rasa percaya diri anak dalam berinteraksi sosial. Karena itu, deteksi dini dan pendekatan menyeluruh penting diterapkan sejak usia dini.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)