Budaya
Unhas Story

Sukarno-Hatta dan Universitas Hasanuddin: Dua Tangan yang Membangun Mimpi di Timur

Oleh: Yusran Darmawan*

Hari itu, Makassar tidak sedang berpesta. Tidak pula sedang merayakan panen raya. Tapi udara di kota pelabuhan itu terasa penuh harap.

Bulan Mei 1954. Di halaman Gubernuran Sulawesi Selatan, ribuan orang tumpah ruah. Mereka berdiri berjejal, menunggu satu nama besar yang sejak lama hanya mereka dengar dari radio atau lihat di lembaran surat kabar. Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia, berdiri di atas mimbar kayu sederhana.

Dengan tangan kiri menyilang di pinggang dan tangan kanan terangkat ke udara — gaya pidato khasnya — Bung Karno menatap tajam ke arah ribuan pasang mata itu.

Ia tidak bicara tentang politik Jakarta. Ia tidak bicara tentang pertarungan kekuasaan. Hari itu, di tanah timur Nusantara, Sukarno datang membawa mimpi: universitas untuk Makassar.

"Di kota ini harus ada universitas!" serunya lantang. Suaranya memukul-mukul dinding-dinding kolonial bangunan Gubernuran. "Dan universitas itu harus memakai nama seorang pahlawan besar, seorang raja yang gagah berani menentang penjajahan: Hasanuddin!"

Sorak-sorai membuncah. Warga Makassar tahu persis siapa Hasanuddin itu. Ia bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah Raja Gowa ke-16, pejuang yang tak pernah tunduk pada Kompeni Belanda.

Ia bertempur di tanahnya sendiri, melawan kekuasaan asing, hingga dijuluki De Haantje van het Oosten — "Ayam Jantan dari Timur".

BACA: Kisah di Balik Pemberian Gelar Doktor Unhas untuk Bung Karno

Bagi Sukarno, nama itu bukan sekadar simbol perlawanan. Nama itu adalah pesan. Bahwa ilmu pengetahuan harus dilahirkan dari semangat perlawanan terhadap kebodohan dan penjajahan. Bahwa universitas harus menjadi benteng peradaban baru.

Pidato itu menyalakan bara. Pemerintah daerah, akademisi lokal, dan masyarakat Makassar seakan mendapat mandat langsung dari sang proklamator. Mulai saat itu, gagasan tentang universitas negeri di Makassar tak lagi sekadar wacana. Ia menjelma menjadi gerakan.

Hatta: "Hari Bersejarah bagi Makassar"

Dua tahun berlalu. Setelah kerja keras tanpa lelah dari para tokoh lokal, tanggal 10 September 1956 menjadi saksi sejarah.

Wakil Presiden Mohammad Hatta tiba di Makassar. Tanpa gegap gempita seperti Sukarno, Hatta tampil dengan ketenangan seorang pemikir. Pagi itu, di depan bangunan sederhana di Baraya — lokasi kampus pertama — Hatta berdiri. Para pejabat daerah, dosen, mahasiswa, dan masyarakat berkumpul.

"Hari ini adalah hari bersejarah bagi kota Makassar," kata Hatta membuka pidatonya. "Penduduk kota ini telah bekerja keras sejak tahun 1950 untuk mendirikan fakultas. Akhirnya, hari ini, Universitas Hasanuddin dapat dibuka secara resmi."

Namun, seperti tabiatnya yang rasional, Hatta tidak hanya berbicara soal kemenangan. Ia mengingatkan tantangan di depan mata.

"Mendirikan universitas memang pekerjaan besar," ujarnya, "tetapi mempertahankannya lebih sulit."

Hatta tahu, sebuah universitas tidak cukup hanya dengan bangunan dan papan nama. Ia harus dihidupi oleh karakter, etika, dan daya tahan intelektual. Ia harus menjadi tempat melahirkan manusia-manusia yang berbudi luhur, berpengetahuan tinggi, dan punya integritas.

>> Baca Selanjutnya