
Dalam pidatonya, Hatta juga realistis. Ia menyebut bahwa "belum waktunya setiap provinsi memiliki universitas sendiri." Oleh karena itu, Unhas harus menjadi rumah bersama bagi Indonesia Timur — pusat pendidikan untuk wilayah yang selama ini jauh dari perhatian Jakarta.
Usai pidato, Hatta dan istrinya, Rachmi Hatta, membuka kain penutup sebuah plakat. Di atas batu marmer itu terukir kata-kata sederhana tapi penuh makna:
"Universitas Hasanuddin, dibuka pada tanggal 10 September 1956 oleh Wakil Presiden RI Drs. Moh. Hatta."
Dua Pemimpin, Satu Warisan
Sukarno menyalakan mimpi. Hatta merancang fondasi. Dua tokoh besar itu, dengan karakter yang sangat berbeda, bertemu di satu titik sejarah: Universitas Hasanuddin.
Kini, lebih dari enam dekade setelah hari itu, Unhas telah tumbuh menjadi salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Dari bangunan sederhana di Baraya, kampus itu berkembang ke Tamalanrea — kawasan luas yang menjadi simbol kemajuan pendidikan di Indonesia timur.
Namun satu hal tetap sama: lambang ayam jantan di logo Unhas masih berdiri tegak. Ia adalah pengingat tentang keberanian. Tentang perlawanan terhadap kebodohan. Tentang visi besar dua tokoh bangsa yang percaya bahwa di tanah timur ini, ilmu pengetahuan harus tumbuh, berkembang, dan menerangi cakrawala negeri.
Universitas Hasanuddin bukan sekadar kampus. Ia adalah warisan. Ia adalah mimpi yang dihidupi. Ia adalah sejarah yang berdenyut dalam setiap ruang kelasnya.
Dan di lorong-lorong sunyi kampus itu, suara Sukarno seakan masih menggema: "Di kota ini harus ada universitas!" Suara itu — hingga kini — belum pernah padam.