Budaya

Surat Terakhir dari Seorang Budak Bugis di Tanjung Harapan, Afrika




Perbudakan kala itu bukan sekadar sistem ketenagakerjaan paksa. Ia adalah jantung ekonomi kolonial. Ketika pasar Eropa menggilai kopi, gula, tembakau, dan rempah, tanah-tanah tropis disulap menjadi ladang produksi.

Tapi tanah tak bisa bekerja sendiri. Maka budak pun dijadikan komoditas. Dikapalkan melintasi samudra, dipindahkan dari pulau ke pulau, dari benua ke benua. Mereka bukan lagi manusia, melainkan barang bergerak, dalam istilah hukum kolonial.

Perbudakan adalah mesin ekonomi, tetapi juga mesin pencabut akar. Seorang Bugis yang dibesarkan dengan epos I La Galigo, mengenal konsep sugi dan ana’ raja, tiba-tiba direduksi menjadi satu istilah: budak.

BACA: Nurhayati Rahman dalam Kesunyian La Galigo

Ia kehilangan tanah, kehilangan bahasa, kehilangan waktu miliknya sendiri. Ia tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang berasal dari keluarga dan sejarah, tapi sebagai sesuatu yang dapat diperjualbelikan.

Namun Upas, dengan satu surat, menolak itu semua. Ia menulis dalam huruf Bugis, berbicara dalam suara leluhur. Di tengah rantai dan dinding penjara, ia mengingat. Dan ketika seseorang masih bisa mengingat, maka ia belum sepenuhnya ditaklukkan.

Koolhof dan Ross menyebut surat ini sebagai arsip tandingan—dokumen kecil yang melawan narasi besar. Sejarah, kata mereka, tak hanya ditulis oleh pemenang, tapi juga oleh mereka yang sempat dibungkam.

“Tessitata iya... anjo’e mutellu’ atikku...” Aku tak melihatmu... tapi engkaulah yang menuntun hatiku...

Kalimat terakhir dalam surat itu kini sampai kepada kita. Dari ruang gelap penjara kolonial, suara Upas menyeberangi waktu. Ia tak hanya menyingkap tragedi, tapi juga menyimpan martabat. Di tengah dunia yang berusaha menghapus jejaknya, ia menulis sebagai seorang Bugis—dan tetap menjadi manusia.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat