Oleh: Yusran Darmawan*
Di atas selembar kertas lusuh, tulisan tangan berhuruf Bugis tergores dengan hati-hati. Barangkali tinta itu telah memudar, tapi artinya tak pernah hilang. Ia adalah bukti paling sunyi dari cinta, kesetiaan, dan nasib yang terpotong oleh kekuasaan.
Surat itu ditulis di Cape of Good Hope—Tanjung Harapan, Afrika Selatan—sekitar pertengahan abad ke-18. Penulisnya seorang budak bernama Upas, dan surat itu ditujukan kepada kawannya, sesama Bugis, yang bernama September.
Di tengah sistem perbudakan kolonial Belanda yang keras dan tak berperi, Upas menulis bukan untuk melawan dengan senjata, melainkan untuk tetap menjalin harapan.
BACA: Karaeng Pattingalloang, Di Bawah Langit yang Tak Terbatas
Kata-kata itu, yang seharusnya menjadi penguat di tengah derita, justru berubah menjadi petaka. Karena surat yang ia kirim, September tak pernah kembali. Ia malah dijatuhi hukuman mati.
Surat itu berbunyi: “Nakaminni patanre’noa iya matu’ tudangeng iyyamengngi nakaminni tessitata...” Saya mengirimkan pesan ini kepada engkau yang duduk di sana. Saya kirimkan dari tempat ini yang tak dapat kulihat...
Kalimatnya pendek. Tapi di dalamnya terselip perasaan yang tak terkatakan—kegetiran, ketabahan, dan secercah asa. Upas menulis dari balik jeruji penjara, setelah ia dituduh terlibat konspirasi pemberontakan. Kata-katanya meluncur dalam bahasa Bugis, bahasa yang asing di telinga penguasa kolonial.
Dan justru karena itulah, bahasa itu dianggap mengancam. Surat itu dibaca sebagai pesan rahasia, sebagai isyarat makar. September pun tak sempat membela diri. Ia hanya sempat menerima kabar terakhir dari sahabatnya, sebelum ajal menjemputnya di tiang gantungan.
***
Dua abad lebih setelah peristiwa itu, kisah ini diangkat kembali oleh Sirtjo Koolhof—seorang filolog asal Belanda yang mengabdikan hidupnya untuk mempelajari naskah dan tradisi lisan Bugis.
Berasal dari negeri yang dulu pernah menguasai Nusantara, Koolhof justru memilih untuk menelusuri kearifan lokal yang nyaris dilupakan bangsanya sendiri. Ia belajar membaca huruf lontara, menyusuri sejarah Bugis bukan lewat senjata, tetapi lewat teks.
Salah satu kontribusinya adalah ikut dalam tim yang menerjemahan dan mengkaji Sureq Galigo, epos agung yang menghidupi warisan maritim Sulawesi Selatan.
Bersama sejarawan Afrika Selatan, Robert Ross, Koolhof menemukan surat Upas dalam tumpukan arsip kolonial di Cape Town. Sebuah dokumen kecil—mungkin tak diperhatikan oleh banyak orang—namun sarat makna.
Temuan ini mereka tulis dalam artikel ilmiah berjudul “Upas, September and the Bugis at the Cape of Good Hope: The Context of a Slave's Letter” yang terbit dalam jurnal Archipel, volume 70, tahun 2005.
Bagi keduanya, surat ini bukan sekadar artefak. Ia adalah suara yang nyaris tak terdengar dari dunia budak yang telah lama dibungkam.
“Surat ini adalah satu-satunya surat dalam bahasa Bugis yang ditemukan di Afrika Selatan,” tulis Koolhof. “Ia memberi kita jendela kecil ke dunia budak yang tak hanya berbicara, tapi menulis, dan merawat ingatan mereka.”
Upas dan September bukan budak biasa. Mereka adalah bagian dari gelombang besar pengasingan yang dilakukan VOC terhadap pelaut, prajurit, dan bangsawan Bugis yang dianggap membangkang.
Pada abad ke-18, Bugis dikenal sebagai pelaut tangguh, pedagang tangkas, dan pejuang ulung. Ketika kekuasaan kolonial menekan Sulawesi Selatan, banyak yang memilih untuk tidak tunduk. Mereka yang kalah tidak selalu dibunuh. Banyak yang dibuang—dikirim jauh ke penjuru dunia kolonial, hingga ke ujung selatan benua Afrika.
BACA: Dari Makassar ke Prancis, Kisah Dua Bangsawan Gowa di negeri Louis XIV
Di Tanjung Harapan, di antara komunitas budak dari India, Madagaskar, dan Mozambique, para Bugis membentuk jejaring kecil. Mereka tak hanya bertahan hidup, tapi juga bertahan sebagai diri. Menulis, menyimpan naskah, dan terus berbicara dalam bahasa mereka. Surat Upas adalah saksi dari keteguhan itu.
“Iyato muangngikua’ dekke’ mate: nateppe’na riala teu’ ri jolo...”Jika engkau mendengar kabar bahwa aku sudah mati, ketahuilah aku telah lebih dulu pergi...
Namun bahasa yang tak bisa dibaca selalu mengundang curiga. Bagi penguasa kolonial, aksara yang asing adalah pertanda ancaman.
Surat Upas, yang lahir dari kasih dan kesedihan, diterjemahkan terburu-buru, dimaknai sepotong-sepotong. Dan di situlah kekeliruan besar terjadi. September dihukum mati. Upas menghilang dari catatan. Tapi surat itu tetap tinggal—dan menyampaikan sesuatu yang tak bisa dimatikan: kemanusiaan.
>> Baca Selanjutnya