
LAYANAN KEPENDUDUKAN. Kepala Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Pemerintah Kota Makassar Muhammad Hatim SSTP MTrAP, Layanan kependudukan tak lagi harus antre semuanya di kantor Disdukcapil. (dok unhas.tv)
Makassar bukan hanya kota daratan. Di wilayah administratifnya terdapat Kepulauan Sangkarrang—wilayah pesisir yang aksesnya terbatas. Jarak dan biaya transportasi membuat banyak warga kepulauan menunda pengurusan dokumen kependudukan.
Untuk itu, Dukcapil juga rutin melakukan kunjungan ke lapangan. “Kami tidak menunggu mereka datang. Kami yang datang,” kata Hatim.
Begitu pula dengan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Petugas datang secara berkala untuk melakukan perekaman dan pembaruan data.
Bagi Hatim, layanan publik tidak mengenal sekat geografis atau sosial. “Warga kepulauan dan warga lapas juga punya hak administrasi yang sama,” ujarnya.
Tahun ini, ia menargetkan membuka layanan kelurahan di Kodingareng dan Barang Caddi. Dua kelurahan ini menjadi pintu awal agar seluruh warga Kepulauan Sangkarrang bisa mengakses layanan tanpa harus ke daratan Makassar.
Menjawab Keluhan Warga
Program layanan digital dan jemput bola bukan muncul dari ruang rapat semata. Ia lahir dari keluhan yang datang bertahun-tahun yaitu antrean panjang, birokrasi berbelit, akses terbatas, dan minim informasi.
“Keluhan masyarakat harus dijawab dengan aksi,” ujar Hatim. “Kalau warga tidak bisa datang, maka Dukcapil yang datang.”
Hasilnya terasa. Antusiasme warga meningkat, terutama saat program jemput bola ke kelurahan dilaksanakan. Petugas mendatangi wilayah marginal dan pinggiran, menginformasikan layanan, memberi pendampingan, bahkan membantu warga mengisi data secara langsung.
“Biasanya kalau kami datang, warga langsung berbondong-bondong. Karena ini kesempatan langka,” kata Hatim.
Transformasi layanan Dukcapil Makassar mencerminkan pergeseran paradigma birokrasi: dari dilayani menjadi melayani. Dulu, warga dianggap wajib mendatangi kantor pemerintah. Kini, pemerintah yang menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan warga.
“Layanan publik itu bukan tentang kita, tapi tentang masyarakat,” ujar Hatim pelan. “Pemerintah harus hadir, bukan ditunggu.”
Bagi sebagian warga, perubahan ini lebih dari sekadar kemudahan administratif. Ia menandai pengakuan atas hak mereka sebagai warga negara.
Seorang ibu penyandang disabilitas di Bontoala, misalnya, tak lagi harus menunggu anaknya mengambil cuti untuk mengantar ke kantor Dukcapil.
Petugas datang ke rumahnya, melakukan perekaman, dan dokumen diantar beberapa hari kemudian. “Kalau seperti ini, kami merasa dihargai,” ujarnya dalam salah satu kesempatan sosialisasi.
Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi, inovasi pelayanan publik seperti ini ibarat jembatan kecil yang penting. Masyarakat yang dulu enggan mengurus dokumen karena antrean dan kesulitan teknis, kini mulai percaya bahwa layanan publik bisa mudah, dekat, dan manusiawi.
“Kalau masyarakat percaya, partisipasi mereka meningkat,” ujar Hatim. “Data kependudukan kita pun jadi lebih valid.”
Validitas data bukan hal sepele. Data Dukcapil menjadi dasar perencanaan pembangunan, penyaluran bantuan sosial, bahkan pemilu. “Kalau datanya salah, kebijakan juga bisa salah,” tambahnya.
Langkah Berikutnya: Armada Keliling
Perjalanan transformasi ini belum usai. Hatim dan timnya sedang menyiapkan program Dukcapil Keliling.
Armada khusus akan mendatangi titik-titik keramaian—pasar, kampus, terminal—untuk memberikan layanan langsung. “Jadi nanti bukan hanya ke rumah, tapi ke tempat warga beraktivitas,” ujarnya.
Ia berharap, dengan kombinasi layanan digital, jemput bola, kecamatan, akhir pekan, dan armada keliling, tak ada lagi warga Makassar yang tertinggal dalam urusan administrasi kependudukan.
Transformasi layanan publik tidak selalu lahir dari teknologi tinggi. Kadang, ia berakar dari kesadaran sederhana bahwa negara ada untuk melayani, bukan dilayani.
Program-program Disdukcapil Makassar di bawah kepemimpinan Muhammad Hatim menunjukkan birokrasi bisa berubah wajah—menjadi lebih dekat, lebih inklusif, dan lebih manusiawi.
Bukan lagi antrean panjang dan loket sempit, tapi layanan yang datang ke rumah, ke kecamatan, ke pulau, bahkan ke lapas. Inilah birokrasi yang mendengar, dan kemudian bergerak. (*)