Budaya
News

Tiga Suara Indonesia di Roma: Jusuf Kalla, Nasaruddin, dan Arsjad dalam Forum Perdamaian Dunia

undefined

Catatan Eka Sastra dari Roma, Italia*

Roma, akhir Oktober 2025. Di tengah kota yang sarat sejarah dan religiusitas, lonceng-lonceng tua berdentang bersahutan di udara musim gugur. Kota abadi itu menjadi saksi pertemuan lintas iman dan lintas budaya, ketika dunia berkumpul dalam forum perdamaian internasional Daring Peace – International Meeting for Peace. 

Dari ribuan peserta yang datang dari berbagai penjuru, tiga tokoh Indonesia tampil menonjol, membawa wajah keberagaman dan kebijaksanaan dari negeri kepulauan: Muhammad Jusuf Kalla, Prof. Nasaruddin Umar, dan M. Arsjad Rasjid.

BACA: Forum Daring Peace Roma 2025; Ketika Dunia Berani Memilih Perdamaian

Kehadiran mereka bukan sekadar simbol partisipasi diplomatik, melainkan pancaran dari sebuah kesadaran bahwa Indonesia memiliki modal moral yang relevan di tengah dunia yang gamang oleh konflik, ekstremisme, dan ketimpangan global.

Tiga suara itu—politik, spiritualitas, dan ekonomi—bersatu dalam satu pesan: perdamaian sejati lahir dari keberanian untuk mempercayai manusia lain.


saat Jusuf Kalla berbicara di forum

Sebagai pembicara utama, Jusuf Kalla membuka forum dengan nada yang tegas namun menenangkan. Ia berbicara bukan dengan jargon diplomasi, melainkan dengan bahasa nurani yang lahir dari pengalaman.

“Perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang,” ujarnya di hadapan ratusan pemuka agama dan kepala negara. “Ia adalah keberanian untuk meletakkan senjata, baik fisik maupun ideologis—dan memilih jalan dialog, keadilan, dan solidaritas.”

Kalla berbicara dari pengalaman panjangnya sebagai mediator konflik di Poso dan Aceh. Ia pernah melihat bagaimana dendam bisa meluluhlantakkan tatanan sosial, tapi juga menyaksikan bagaimana hati yang bersedia mendengar bisa menyembuhkan luka.

Sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, ia menegaskan bahwa masjid tidak boleh sekadar menjadi tempat ibadah, tetapi harus menjadi ruang sosial yang menumbuhkan keadaban umat dan solidaritas kemanusiaan. Dalam pandangannya, rumah ibadah adalah tempat terbaik untuk menanam benih perdamaian. “Beranilah mewujudkan perdamaian,” katanya, “jangan hanya mengambil keuntungan dari konflik.”

Beberapa jam setelah pidato Kalla, Prof. Nasaruddin Umar naik ke podium. Latar belakangnya sebagai Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal memberi bobot spiritual tersendiri pada pidatonya.

Ia berbicara lembut namun tajam, tentang bahaya politisasi agama yang menggerogoti fondasi perdamaian. “Ancaman terbesar bagi perdamaian bukan agama,” ujarnya, “melainkan penyalahgunaan agama.”

Pidatonya di Roma pada 27 Oktober 2025 itu bergema seperti doa panjang dari Timur. Nasaruddin memaparkan gagasan tentang Islam rahmatan lil alamin, tentang bagaimana ajaran kasih dan kedamaian bisa menjadi perekat di tengah perbedaan.


Saat Prof. Nasaruddin Umar berpidato

Ia membawa Indonesia sebagai contoh konkret—sebuah “laboratorium kerukunan dunia,” katanya—di mana umat beragama hidup berdampingan dalam saling menghormati. Bagi Nasaruddin, pengalaman keberagaman Indonesia adalah warisan spiritual yang bisa dibagikan kepada dunia.

Sementara itu, di sesi bertema Economy and Solidarity, Arsjad Rasjid menghadirkan dimensi lain dari perdamaian: keadilan ekonomi. Baginya, konflik sering kali berakar pada ketimpangan.

Ekonomi yang hanya memihak segelintir orang, tanpa nurani dan tanggung jawab sosial, hanyalah bentuk lain dari kekerasan yang tersembunyi. “Ekonomi tanpa kemanusiaan,” katanya, “adalah bentuk konflik yang tersembunyi.”

Sebagai Ketua KADIN Indonesia dan Ketua DMI Bidang Kewirausahaan, Arsjad berupaya membumikan gagasan ekonomi berkeadaban. Ia percaya masjid dapat menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, bukan hanya ruang spiritual, tetapi juga tempat di mana solidaritas sosial tumbuh.

Melalui gerakan 5P Global Movement yang ia inisiasi, Arsjad menyerukan agar dunia usaha tidak lagi berdiri di luar persoalan kemanusiaan, tetapi ikut menjadi bagian dari solusi. Dalam dirinya, spiritualitas dan kewirausahaan berpadu menjadi semangat perdamaian baru—modern, progresif, namun berakar kuat pada nilai-nilai Islam yang humanis.


saat Arsjad Rasjid berpidato


Dari diplomasi moral yang diusung Jusuf Kalla, spiritualitas damai yang dibawa Nasaruddin Umar, hingga etika ekonomi yang ditegaskan Arsjad Rasjid, tiga suara Indonesia itu berpadu menjadi harmoni yang khas: pertemuan antara negara, agama, dan dunia usaha.

Ketiganya menegaskan bahwa perdamaian bukan urusan para rohaniwan semata, bukan pula monopoli politisi atau pebisnis, melainkan kerja bersama lintas iman, lintas sektor, dan lintas generasi.

Dalam suasana forum yang hangat, gema dari pidato-pidato itu seperti menggema hingga ke luar dinding Basilika Lateran, tempat pertemuan berlangsung. Seorang peserta dari Eropa Timur bahkan menyebut Indonesia sebagai “cermin dari masa depan dunia yang plural tapi damai.”

Dan ketika forum berakhir, kata-kata Paus Leo XIV yang dikutip panitia terasa menutup seluruh percakapan dengan makna yang dalam: “Perdamaian bukan hadiah, tapi keputusan.”

Dari Colosseum hingga Nusantara, gema seruan itu tetap sama—tentang keberanian untuk mempercayai manusia lain. Forum di Roma mungkin telah selesai, tetapi panggilan untuk damai baru saja dimulai.

*Eka Sastra adalah Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin