
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas Prof Dr Mursalim Nohong SE MSI CWM. (dok unhas.tv)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Amerika Serikat adalah mitra dagang utama Indonesia dengan nilai ekspor mencapai lebih dari USD 23 miliar pada tahun 2024.
Kenaikan tarif hingga 32 persen tentu menjadi pukulan besar, bukan hanya bagi eksportir, tapi juga rantai pasok dan sektor ketenagakerjaan.
“Kalau kita tidak siap, ini bisa menyebabkan penurunan volume ekspor secara drastis,” jelas Prof. Mursalim.
“Pelaku usaha perlu waspada, tapi jangan panik. Efisiensi harus dijalankan tanpa melakukan PHK. Mungkin margin keuntungan turun, tapi jangan sampai daya tahan industri ikut runtuh,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa langkah cepat pemerintah untuk melakukan negosiasi bilateral dengan Amerika sangat dibutuhkan. Apalagi Trump memberi tenggat waktu 90 hari sebelum tarif benar-benar diberlakukan penuh.
Kebijakan Trump bukan semata tentang ekonomi, melainkan juga geopolitik dan kekuasaan. Dalam konteks ini, Indonesia harus cerdas membaca peluang.
Menurut Prof. Mursalim, negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika bisa menjadi alternatif pasar ekspor baru.
Ia juga mendorong agar pelaku industri dalam negeri mulai membenahi efisiensi produksi serta memperbaiki sistem logistik dan distribusi. “Kita harus belajar dari tekanan ini. Ini waktu yang tepat untuk berbenah,” tuturnya.
Kebijakan tarif Trump bisa dibaca sebagai bentuk sinyal agar negara-negara berkembang tidak hanya menjadi pasar atau penyedia bahan mentah. Dalam konteks itu, Indonesia perlu menjawab tantangan ini dengan cara yang strategis—mengubah krisis menjadi peluang.
“Ini bukan akhir dari perdagangan kita dengan AS,” kata Prof. Mursalim. “Tapi sinyal bahwa Indonesia perlu tumbuh jadi negara yang mandiri secara industri dan tidak bergantung pada satu pasar saja.”
Dengan pendekatan diplomasi yang elegan, langkah strategis yang terukur, serta kolaborasi lintas sektor, Indonesia diharapkan dapat mengatasi badai tarif ini—dan mungkin, tumbuh lebih kuat karenanya.
(Muhammad Syaiful / Unhas.TV)