News
Opini

Waspada Bencana Pasca-Bencana

undefined

Oleh: Ashry Sallatu*

Hampir semua group whatsapp yang saya ikuti, beredar video, foto, dan cerita sedih tentang orang yang kehilangan keluarga, rumah, dan harus bertahan hidup di pengungsian.

Ketika air bah datang, ada video seorang anak kecil yang kedinginan, duduk diatas atap rumah sambil menangis melihat air bah menghanyutkan kayu gelondongan.

Meskipun begitu, yang membuat perasaan menjadi tenang dan optimis karena beredar juga cerita tentang perjuangan warga berkolaborasi dengan relawan, aparat pemerintah untuk menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Banyak warga di seluruh penjuru negeri membantu sesuai dengan kemampuannya. 

Di momen yang bersamaan, di pusat pemerintahan nasional, Jakarta dan ibu kota provinsi, tengah berlangsung rapat-rapat yang merumuskan bagaimana menanggapi bencana ini.

Di dalam rapat tersebut beberapa hal yang biasanya dibicarakan termasuk siapa yang akan akan mendapatkan ‘kontrak’ untuk melakukan penanganan termasuk sampai pada rekonstruksi daerah bencana, siapa yang akan dipindahkan dari lahannya, dipindahkan kemana, bagaimana membangun kembali dan bagaimana pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan kembali itu? 

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk untuk menganggu kerja-kerja tanggap darurat yang sementara dilakukan, dan bukan karena nir-empati tetapi tulisan ini justru ingin memastikan bahwa atas nama ‘build back better’ tidak merepetisi pola bencana susulan berupa ‘kapitalisme bencana’.

Jejak Manusia dalam Bencana

Jika kita menyebut apa yang terjadi di Sumatera sebagai bencana alam saja, rasanya kita kurang jujur pada diri sendiri. Hujan memang mekanisme alam, menurunkan air dari langit sampai ke bumi, tanpa jejak manusia di situ.

Namun, ketika air itu sampai di tanah, cara dia mengalir, kecepatannya yang meruntuhkan bangunan rumah, sangat ditentukan oleh apa yang manusia lakukan selama bertahun-tahun.

Berapa laporan organisasi lingkungan sudah lama mengungkapkan tentang dampak deforestasi besar-besaran di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera.

Hutan-hutan di hulu yang dibuka untuk tambang dan/atau kebun skala besar, lereng yang dipangkas untuk jalanan villa, aliran sungai yang berubah akibat pembangunan tanpa tata ruang yang baik, semua ini mengakibatkan air kehilangan ruang untuk diresap dan melambat.

Otomatis air akan mengalir di jalur cepat, menghantam pemukiman warga yang biasanya justru mereka ini yang paling minim partisipasinya dalam proses perizinan hingga tata kelola industri tambang dan perkebunan. 

Jadi, menyalahkan hujan saja, rasanya kurang tepat. Level destruksi adalah kombinasi pembabatan hutan, pertambangan, perkebunan skala besar dan tata ruang yang kurang memadai yang abai terhadap daya tampung.

Akibatnya warga di hilir yang menanggung risiko, sementara segala keputusan dan kebijakan ditetapkan dalam ruang-ruang rapat yang jauh dari lokasi bencana. Jadi bencana tidak bisa hanya dilihat sebagai takdir, musibah alam tapi ada jejak manusia melalui keputusan politik ekonomi.

Naomi Klein, peneliti asal Kanada, mengajak kita melangkah untuk melihat bagaimana keputusan itu bekerja pasca bencana

Kapitalisme bencana 

Naomi mengemukakan ‘disaster capitalism’ yang menjelaskan sebuah pola: di setiap guncangan besar, seperti perang, krisis atau bencana alam. Ada sekelompok orang yang bertindak cepat mengajukan proyek yang dalam situasi normal mungkin akan ditolak oleh warga, karena warga masih dalam berkabung, dan sibuk dalam menangani suasana darurat, menyelamatkan keluarga atau harta seadanya.

Lalu muncul jargon seperti ‘revitalisasi’ atau ‘build back better’ yang dikesankan sangat positif meskipun dibaliknya biasanya tersembunyi agenda privatisasi, penggusuran dengan dalih pembukaan ruang baru bagi investasi. Sayangnya, dalam tesis Naomi, hal-hal itu tidak otomatis menguntungkan korban bencana.

Salah satu contoh yang diangkat oleh Naomi adalah cerita tentang tsunami Samudera Hindia tahun 2004 yang ikut menghantam Sri Lanka. Setelah ombak tsunami menghancurkan kampung-kampung nelayan di wilayah pesisir, pemerintah kemudian mengimplementasikan kebijakan ‘zona penyangga.’

Intinya, karena alasan keamanan, pemerintah melarang warga untuk membangun kembali rumah mereka di wilayah yang terlalu dekat dengan garis pantai.

Alasan keamanan ini tentu baik karena melindungi warganya. Namun, cerita tidak sampai disitu, karena nelayan sulit kembali ke ruang hidup dan kehilangan penghidupannya.

Di saat yang bersamaan, pemerintah memberikan izin kepada investor untuk mengelola wilayah tersebut menjadi destinasi wisata, dan membangun hotel dan resort (A. van Dam, 2015).

Naomi menyebut ini sebagai ‘tsunami kedua’ yang diartikan sebagai gelombang kebijakan yang menggusur warga miskin wilayah pesisir, dan membuka pintu agar modal masuk untuk mengkapitalisasi daerah bekas bencana sebagai komoditas. 

Contoh di atas menunjukkan bahwa ‘kapitalisme bencana’ adalah hal yang riil, dia memiliki wajah. Dari tesis ini, Naomi ingin mengingatkan kita bahwa bencana dalam banyak kasus membuka pintu kesempatan, tidak hanya untuk menyelamatkan, tetapi juga untuk merombak tatanan sosial-ekonomi dengan bentuk menguntungkan segelintir dan merugikan sebagian besar orang. 

Relevankah Peringatan Naomi bagi Sumatera?

Meski jauh dan konteks yang berbeda, tapi pola yang terjadi di Sri Lanka, tidaklah unik dalam banyak kasus di beberapa negara, sehingga tidak mustahil terjadi juga di Indonesia.

Di Aceh, pada tahun 2004 satu studi dari Asri Wulandari (2020) menunjukkan muncul pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kekacauan pasca bencana tsunami untuk kepentingan pengalihan kepemilikan lahan, yang intensi akhirnya adalah menjadikan lahan itu untuk perkebunan kelapa sawit untuk ekspor (Asri, Wulandari, 2020).

Di Palu, bencana tsunami dan likuifaksi mengharuskan warga untuk direlokasi yang mengakibatkan berubahnya strategi penghidupan seperti perkebunan, sawah dan usaha kecil. Dari ketiga kasus diatas, pola umumnya sama: relokasi, rekonfigurasi struktur kepemilikan tanah, terbuka ruang baru untuk berbagai kepentingan, termasuk ide investasi. 

Saat ini, Reuters menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia menganggarkan 51,82 triliun rupiah untuk dana pemulihan. Tentu, di balik angka itu, ada cerita siapa yang akan dapat kontrak untuk pembangunan hunian sementara, jalanan, jembatan atau bendungan, siapa konsultannya yang akan menyusun masterplan pemulihan.

Apakah aktor-aktor yang sama yang selama ini menikmati izin pembukaan lahan yang kemudian tampil sebagai ‘mitra pemulihan’ dengan jalan jargon pembangunan hijau? 

Solidaritas yang muncul sampai hari ini memberikan rasa haru dan optimisme. Namun sembari ada yang turun lapangan mengantarkan beras dan selimut, ada juga yang lagi di meja-meja rapat menyusun rencana rekonstruksi. Maka di titik ini perlu juga ada yang bertanya: bagaimana rencana pemulihan nanti akan dijalankan, siapa yang paling diuntungkan?

Bencana ini akan tercatat juga dalam data numerik: jumlah korban, nilai kerugian, besaran anggaran pemulihan. Namun sekali lagi, dibalik angka-angka itu ada kehidupan yang tidak bisa dijelaskan secara utuh dengan angka.

Negara tentu punya kewajiban memulihkan hidup warganya yang menjadi korban, tidak hanya secara fisik, namun juga penting adalah menjadikan warganya sebagai pemain utama dalam merancang masa depan penghidupan mereka pasca bencana.

Perusahaan besar yang memiliki sumber daya, kapasitas teknis dan logistik tentu dibutuhkan dalam pemulihan. 

Tapi ini bukan saja tentang melibatkan mereka atau tidak, tapi warga berhak bertanya bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitas, bagaimana pelibatan warga dalam perencanaan rekonstruksi, serta mencegah aktor-aktor perusak lingkungan berganti jubah menjadi ‘pahlawan pemulihan’.

Saat ini, dibeberapa media, berbagai elemen masyarakat sudah mulai berbicara tentang pemulihan yang lebih adil misalnya melalui gotong royong. Aspirasi-aspirasi ini perlu digaungkan. 

Sekarang kita bisa memilih, apakah bencana ini membuat kita tunduk pada logika proyek, atau kita jadikan titik balik penegasan bahwa keberlanjutan lingkungan dan keselamatan manusia lebih penting daripada keuntungan ekonomi jangka pendek?

Saat ini kita fokus untuk menyelamatkan ribuan nyawa, dan berikutnya kita wajib selamatkan ribuan harapan.

*Penulis adalah dosen Unhas, penggiat Tamalanrea School