MAKASSAR, UNHAS.TV - Indonesia berada di urutan kedua sebagai negara dengan jumlah kasus Tuberkolosis (TBC) tertinggi di dunia. Tak heran jika penanganan kasus TBC menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia.
TBS atau Tuberkolosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menurut Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin dr M Harun Iskandar SpPD SpP(K), terdapat 130 ribu kasus meninggal dunia akibat Tuberkolosis setiap tahun, dengan kata lain sekitar 17 orang per jam yang meninggal dunia akibat penyakit ini.
"Angkan kematian akibat TB masih tinggi. Di Indonesia ada 130 ribu kasus meninggal setiap tahun karena penyakit ini. Artinya sekitar 17 orang per jam meninggal karena TB, masih tinggi sekali, mirip-mirip dengan Covid-19 dulu," jelasnya kepada Unhas TV.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, setiap tahun terdapat penambahan 10 juta orang yang menderita Tuberculosis dan setiap tahun terdapat 1,5 juta orang meninggal karena penyakit itu.
Ia juga menjelaskan bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tb) atau yang dikenal dengan nama Koch's bacillus, adalah penyebab penyakit TBC. Bakteri ini hidup di tempat-tempat yang lembab dan bisa mati dengan sinar matahari.
"Kuman ini hidup di tempat-tempat yang lembab dan bisa mati dengan sinar matahari. Maka harus dipastikan ada ventilasi dan sinar matahari yang cukup," katanya
Terkait dengan penularannya, Dokter Harun menyebut Tuberkolosis atau TB biasanya menular melalui droplet atau percikan air liur yang keluar saat seseorang batuk, atau bersin, ataupun pada air ludah. Mycobacterium tuberculosis bisa bertahan hingga 1 minggu pada air liur tersebut.
"TBC menular lewat droplet. Ketika ada yang positif TBC lalu batul atau bersin, percikan air ludah itu akan menyebar diudara dan apabila dihirup oleh seseorang, ada dua kemungkinan, kalau daya tahan tubuhnya kuat maka akan langsung dihalangi oleh tubuh, namun kalau daya tahan tubuhnya lemah, itu akan menimbulkan gejala lanjutan," kata dokter Harun.
Dokter Harun menekankan pentinganya daya tahan tubuh yang kuat untuk menekan penyebaran bakteri ini. TB ini lebih rentang menular pada seseorang dengan daya tahan tubuhnya lemah.
Gejala awal yang muncul pada penyakit TBC ini ialah batuk berdahak yang tidak sembuh lebih dari 2 pekan, berkeringat pada malam hari tanpa adanya aktivitas berat, hilangnya nafsu makan serta kenaikan suhu tubuh.
Gejala ringan ini yang sering disepelekan oleh masyarakat sehingga baru memeriksakan ke dokter saat sudah muncul gejala berat seperti batuk berdarah.
"Masyarakat cenderung periksa setelah sudah parah seperti batuk darah. Seharusnya ketika ada gejala ringan, maka segera periksakan ke layanan kesehatan terdekat," sarannya.
Jika terbukti positif TBC, maka langkah selanjutnya adalah pengobatan. Biasanya penderita akan diberi obat pil yang harus dikonsumsi rutin setiap hari selama 6 bulan.
Pengobatan ini harus dijalani secara terus menerus dan jika terputus maka akan berakibat pada retensi obat, dimana bakteri ini akan kebal terhadap obat yang diberikan.
Solusi jika terjadi kebal obat ini ialah penderita harus meminum obat baru, dengan jangka waktu yang lebih lama mulai 9 – 11 bulan, disertai juga dengan pengobatan melalui suntik.
"Tantangannya sekarang adalah TB yang kebal obat. Kalau pasien putus minum obat, kemungkinan dia akan kebal obat sehingga harus menggunakan obat-obatan baru yang relatif lebih lama, disertai dengan suntikan," jelasnya.
demi mengurangi kasus TBC di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti penyediaan alat pemeriksaan dan pengobatan secara gratis.
Pemerintah menyediakan obat secara gratis, ada asuransi atau tidak tetap dilayani. Mulai dari pemeriksaan (screening), obat juga gratis, sampai tuntas itu ditanggulangi oleh pemerintah.
dokter Harun mengharapkan seluruh masyarakat untuk lebih peduli terhadap gejala-gejala yang dialaminya, untuk mengurangi penularan penyakit ini. Dukungan dari lingkungan sekitar penderita juga sangat penting. Dengan demikian, program Indonesia B]ebasTuberkolosis di Tahun 2030 dapat terwujud.
"Pemerintah sudah cukup berperan, dan kita harus dukung. Saya yakin kalau kita bisa bersama, masyarakat menghilangkan stigma, penderita TBC juga aware terhadap dirinya pasti kita akan bisa mewujudkan Indonesia Bebas TBC 2030," tutup dokter Harun.(*)
Iffa Aisyah Rahman (Unhas TV)