MAKASSAR, UNHAS.TV - Aula Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Kamis (6/11/2025) pagi, tampak penuh sesak. Ratusan mahasiswa berkumpul, sebagian membawa buku catatan, sebagian lagi menyiapkan gawai untuk merekam penjelasan tamu istimewa.
Di depan layar besar bertuliskan “Using Global Maps of Mycorrhizal Fungi Diversity as a Tool For Their Conservation”, berdiri seorang perempuan berkacamata dengan logat Amerika Latin yang kental.
Dialah Lead Field Research Scientist Dr. Adriana Corrales, sekaligus Program Director Underground Explorers, yang datang khusus membawakan kuliah umum tentang dunia bawah tanah yang sering terlupakan: jamur mikoriza.
Jamur ini bukan sembarang jamur. Di akar-akar pohon, mereka hidup tanpa terlihat, membentuk jaringan simbiotik dengan tumbuhan. Melalui sistem inilah, nutrisi dari tanah berpindah, kehidupan di hutan bertahan.
“Lebih dari 80 persen tanaman di dunia bergantung pada jamur mikoriza untuk memperoleh nutrisi. Masalahnya, hampir tidak ada yang tahu tentang mereka. Kami ingin menciptakan kesadaran akan pentingnya jamur ini bagi kehidupan di bumi,” ujar Adriana dalam paparannya.
Adriana berbicara dengan semangat yang menular. Ia menjelaskan bagaimana timnya, bersama para peneliti dari berbagai negara, sedang mengembangkan peta global keanekaragaman jamur mikoriza.
Pemetaan itu dilakukan melalui pengambilan sampel tanah di dalam dan di luar kawasan taman nasional, seperti di Sulawesi Selatan, untuk melihat bagaimana kondisi lingkungan memengaruhi keberadaan jamur tersebut.
“Kami membandingkan area hutan yang masih alami dengan wilayah yang digunakan untuk pertanian atau telah mengalami deforestasi,” katanya.
“Kami ingin tahu seberapa besar perubahan keanekaragaman jamur mikoriza ketika hutan ditebang, serta spesies mana yang paling penting untuk dipertahankan,” jelasnya.
Kuliah umum ini merupakan bagian dari riset kolaboratif antara empat lembaga besar: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Society for the Protection of Underground Networks (SPUN), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Dalam sambutannya, Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi, dan Alumni Fakultas Kehutanan Unhas, Prof Syahidah SHut MSi PhD menyebut kegiatan ini sebagai langkah strategis memperkuat jejaring penelitian global.
“Kolaborasi ini menjadi peluang penting untuk memperdalam pemahaman kita tentang biodiversitas bawah tanah, yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam studi ekologi,” ujarnya.
Penelitian tersebut, kata Syahidah, diharapkan menghasilkan data ilmiah yang dapat digunakan untuk konservasi lingkungan dan keberlanjutan hutan tropis. “Jamur mikoriza adalah fondasi tersembunyi dari ekosistem kita,” tambahnya.
Dari sisi Unhas, riset ini dikomandoi oleh dosen dan peneliti di Fakultas Kehutanan Dr Ira Taskirawati SHut MSi. Ia menjelaskan, penelitian berlangsung di dua kawasan utama, taman nasional dan wilayah pesisir Sulsel. Tujuannya, melihat perbandingan keanekaragaman jamur antara ekosistem darat dan laut.
“Kami bekerja sama dengan SPUN, BRIN, IPB, dan dari Unhas sendiri melibatkan dua fakultas, yaitu Kehutanan serta Ilmu Kelautan dan Perikanan,” kata Ira.
Ia menambahkan, penelitian ini tidak hanya tentang data, tapi juga pendidikan lapangan. “Kami mengajak mahasiswa untuk turun langsung mengambil sampel tanah dan belajar identifikasi jamur di lapangan,” ujarnya.
Keterlibatan mahasiswa menjadi bagian penting dari riset ini. Mereka tidak sekadar menjadi penonton, tetapi ikut serta dalam setiap tahapan, mulai dari pengambilan sampel, analisis laboratorium, hingga pelaporan data.
“Ini kesempatan berharga untuk melatih keterampilan riset dan memperluas jaringan akademik internasional,” kata Ira.
Selain sebagai ajang pertukaran ilmu, kegiatan ini juga menjadi upaya membangun kesadaran ekologis baru di kalangan akademisi muda. Adriana menegaskan, dunia mikoriza bukan hanya ranah ilmuwan, tapi masa depan bumi.
“Kami ingin para mahasiswa belajar lebih banyak tentang fungi. Fungi adalah satu kerajaan kehidupan yang sering diabaikan, padahal memiliki fungsi ekosistem yang sangat penting. Siapa tahu, ada di antara kalian yang kelak menekuni karier di bidang mikologi,” katanya.
Pesan itu disambut tepuk tangan hangat dari para peserta. Dalam sesi tanya jawab, beberapa mahasiswa terlihat antusias menanyakan peran mikoriza dalam pertanian berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim.
Seorang mahasiswa bahkan bertanya tentang kemungkinan mengembangkan biofertilizer berbasis jamur lokal untuk meningkatkan produktivitas tanah tanpa merusak lingkungan.
Menurut Adriana, pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan semangat baru dalam melihat riset ekologi bukan sebagai kajian akademik semata, tetapi sebagai bagian dari solusi untuk tantangan global.
“Sulawesi adalah salah satu hotspot biodiversitas dunia. Data dari sini sangat penting untuk memahami perubahan ekosistem tropis,” ujarnya.
Suasana aula terasa hangat. Di layar, terpampang gambar jaringan akar berwarna biru neon—simbol koneksi mikoriza yang menyelimuti bumi di bawah kaki manusia.
“Kita sering bicara tentang hutan dan pohon,” kata Adriana menutup sesinya. “Tapi kehidupan sejati hutan dimulai di bawah tanah. Di sanalah semuanya terhubung.”
Kegiatan kuliah umum ini ditutup dengan foto bersama antara narasumber, dosen, dan mahasiswa. Beberapa mahasiswa tampak masih berdiskusi kecil di sudut aula, membicarakan kemungkinan penelitian lanjutan atau ide skripsi tentang fungi.
Bagi Fakultas Kehutanan Unhas, kolaborasi semacam ini menjadi tonggak penting. Di tengah perubahan iklim yang kian cepat, memahami kehidupan di bawah tanah menjadi langkah strategis menjaga bumi di atasnya.
Seperti dikatakan Prof. Syahidah, “Melestarikan hutan tidak hanya berarti menjaga pohon-pohonnya, tapi juga menjaga kehidupan kecil yang menopang akar-akar itu.”
Dan di antara jaringan mikoriza yang tak terlihat itu, ilmu pengetahuan dan kolaborasi lintas negara kini tumbuh — membentuk akar baru bagi konservasi masa depan.
(Venny Septiani Semuel / Unhas TV)
Lead Field Research Scientist Dr Adriana Corrales. (dok unhas tv)








