
Publik yang berharap pada oposisi, kini seperti penonton di sebuah panggung sandiwara. Mereka tahu apa yang dipertontonkan bukanlah drama yang penting. Tapi mereka tak bisa pergi, karena inilah satu-satunya tontonan yang tersedia. Di layar-layar media sosial, di acara debat politik, di mikrofon-mikrofon kampus dan parlemen—semua sibuk dengan naskah yang sama: selembar ijazah.
Di tengah kegaduhan itu, pemerintah tampak tak terganggu. Rezim Prabowo, yang pada awal masa transisinya dinilai belum menunjukkan arah kebijakan yang tegas, justru mendapat ruang bernapas. Kritik terhadap stagnasi industri dalam negeri, arah subsidi pangan, hingga rencana besar koperasi rakyat yang tanpa desain jelas—semuanya tenggelam dalam kabut isu ijazah.
Seorang analis politik di Jakarta yang tak ingin disebut namanya menyebut kondisi ini sebagai “oposisi yang tanpa imajinasi.” Menurutnya, “Mereka seperti kehilangan kepercayaan untuk menyuarakan sesuatu yang lebih dalam. Maka yang dipilih justru yang paling gampang menggugah emosi: rumor, skandal, dan masa lalu.”
Padahal, seperti kata Michel Foucault, kekuasaan yang paling berbahaya bukan yang memaksa kita diam, tapi yang berhasil membuat kita bicara soal yang tak penting.
Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan modern bukan lagi soal represi terang-terangan seperti zaman tirani. Ia hadir dalam bentuk yang lebih halus—mengatur ruang, mengontrol wacana, dan menyusun apa yang boleh diperbincangkan. Kekuasaan tak lagi menutup mulut, tapi justru memberi mikrofon—untuk membicarakan hal-hal yang menjauhkan kita dari pokok persoalan. Ia membiarkan kita ribut tentang ijazah, asal jangan bicara tentang monopoli tanah, upah minimum, atau oligarki energi.
Ketika oposisi sibuk dengan narasi receh, maka kekuasaan bisa melaju tanpa koreksi. Ia tak perlu membungkam siapa pun, cukup membiarkan orang sibuk membicarakan yang salah.
Demokrasi yang sehat mensyaratkan pertarungan ide, bukan sekadar pertarungan sentimen. Tapi ketika ide digantikan oleh rumor, ketika diskusi strategis digeser oleh nostalgia dendam, maka demokrasi tinggal nama. Yang tersisa adalah panggung—penuh sorot lampu, tapi tanpa naskah yang layak diperjuangkan.
Di warung kopi itu, percakapan akhirnya berhenti. Salah satu dari dua pria tadi berdiri, membayar kopi, lalu berkata pelan, “Saya tidak peduli ijazah siapa yang palsu. Saya cuma ingin tidak di-PHK, tidak kehilangan pekerjaan.”
Mungkin itu pertanyaan yang seharusnya ditanyakan dari awal. Tapi dalam demokrasi yang sedang tertidur, bahkan pertanyaan paling sederhana pun bisa tenggelam dalam sorak-sorai yang tidak membawa ke mana-mana.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.