Opini

Yang Tak Dibicarakan di Tengah Sorak Ijazah

oleh: Yusran Darmawan*

Di sebuah warung kopi kecil di kawasan Panakkukang, Makassar, dua pria paruh baya tengah bercakap hangat. Di meja mereka tergeletak koran yang sudah lecek, halaman depannya menyoroti tajuk besar: “Ijazah Palsu Kembali Disorot.”

Di belakang mereka, televisi kecil menayangkan tayangan berita dengan suara yang sayup, memperlihatkan potongan video seseorang yang tengah berorasi dengan wajah tegang.

Tak ada yang menyinggung banyaknya korban PHK, harga beras naik, serta angka pengangguran yang terus menanjak. Tak ada percakapan tentang gaji yang tak cukup atau utang negara yang terus membengkak.

Padahal itulah hal-hal yang lebih dekat dengan hidup mereka. Yang ramai justru cerita lama—tentang ijazah, dokumen akademik, dan narasi konspiratif yang sudah lama tenggelam bersama masa jabatan yang berlalu.

Sementara itu, di ruang-ruang kekuasaan, Presiden Prabowo tampak berjalan tanpa riuh. Ia tak banyak bicara tentang ekonomi. Tak banyak pula menjawab soal arah hilirisasi, pemulihan daya beli, atau strategi menghadapi gejolak global. Dan anehnya, tak ada tekanan yang berarti.

Oposisi yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang justru tenggelam dalam kebisingan yang ganjil—membongkar masa lalu yang tak mengubah hari ini.

Filsuf Slavoj Zizek pernah menyebut istilah pseudo-activity—sebuah kegilaan yang menyamar sebagai aktivisme. Sebuah hasrat untuk terlihat sibuk, untuk tampak kritis, padahal sejatinya adalah pelarian.

Orang merasa sedang melawan. Tapi sebenarnya sedang menghindar dari tanggung jawab utama: berpikir, memahami, dan menggugat struktur.

Dan barangkali, itulah yang sedang terjadi di tubuh oposisi kita. Mereka tampak aktif, tapi kehilangan substansi. Mereka bersuara, tapi tak menyentuh hal yang menyakitkan.

Di permukaan, mereka tampak sibuk: memposting, menggugat, menggelar konferensi pers, bahkan membawa perkara ke pengadilan. Tapi semua itu hanya riuh di permukaan.

Tidak ada keberanian untuk menyentuh jantung persoalan bangsa: kesenjangan ekonomi yang kian menganga, ketergantungan pada impor yang melemahkan kedaulatan pangan, arah pembangunan yang kabur, dan elit ekonomi yang makin jauh dari kehidupan rakyat kecil.

Mereka sibuk mengungkit ijazah seorang presiden yang sudah pensiun, alih-alih menyoal arah pemerintahan yang sedang berjalan di tengah krisis ekonomi.

Alih-alih membongkar kontradiksi dalam kebijakan fiskal, atau mempertanyakan proyek-proyek mercusuar yang tak menyentuh akar kemiskinan, mereka malah menggali dokumen dari masa silam, berharap menemukan peluru politik dari lembaran lama.

Ini bukan lagi oposisi yang berpikir ke depan, melainkan nostalgia politik yang berubah menjadi tontonan—menarik, tapi kosong.

Kritik kehilangan ketajamannya ketika diarahkan ke masa lalu yang tak relevan dengan penderitaan hari ini. Dalam situasi seperti itu, oposisi berubah menjadi koreografer keramaian, bukan penjaga akal sehat publik.

Padahal, di luar arena gaduh itu, jutaan rakyat sedang bertanya: ke mana arah negara ini dibawa? Tapi tak ada yang menjawab. Yang ada hanya gema dari ruang hampa.


>> Baca Selanjutnya