News
Polhum

5 Anggota DPR Dinonaktifkan Partainya, Tapi Ahmad Sahroni hingga Uya Kuya Masih Terima Gaji

MAKASSAR, UNHAS.TV - Buntut demonstrasi besar menolak kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bergulir. Sejumlah partai politik mengambil langkah cepat dengan menonaktifkan kader mereka yang duduk di Senayan.

Namun keputusan penonaktifan 5 anggota DPR RI oleh partainya ini justru menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya arti “nonaktif” bagi seorang anggota DPR?

NasDem misalnya, menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. PAN mengambil langkah serupa terhadap Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya.

Sementara Partai Golkar menonaktifkan Adies Kadir. Kelimanya menjadi sorotan publik lantaran pernyataan dan sikap mereka dinilai tidak pantas di tengah gelombang kritik atas kinerja parlemen.

Kader Nasdem Ahmad Sahroni yang paling menuai kecaman usai menyebut usulan pembubaran DPR sebagai “pendapat orang tolol”.

Nafa Urbach dikritik karena membela kenaikan tunjangan dengan alasan kemacetan dari rumahnya di Bintaro menuju Senayan.

Adapun Eko Patrio dan Uya Kuya disorot publik setelah berlenggak-lenggok berjoget seusai Sidang Tahunan MPR 2025. Sedangkan komentar Adies Kadir terkait tunjangan dewan dianggap memperkeruh suasana.

Meski tampak tegas, keputusan partai memunculkan sorotan baru. Pasalnya, istilah “nonaktif” tidak termuat dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD atau UU MD3.

“Dalam aturan MD3 hanya ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Itu yang seharusnya digunakan kalau partai serius memberi sanksi, bukan nonaktif,” kata pengamat politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto SIP MSi kepada unhas.tv, Selasa (2/9/2025).



Pengamat Politik dan Akademisi Unhas Andi Ali Armunanto SIP MSi. (dok unhas.tv)


Ali menilai partai harus mempertegas makna “nonaktif” agar tidak menimbulkan polemik. Tanpa kejelasan, publik bisa memandang langkah itu sebatas manuver politik untuk meredakan kemarahan masyarakat.

“Kalau tidak jelas, ini hanya cara partai untuk meredam tekanan, bukan bentuk pertanggungjawaban,” ujarnya.

Apakah Akan Di-PAW-kan?

Publik kini menunggu tindak lanjut partai: apakah kelima anggota tersebut benar-benar akan diusulkan untuk diberhentikan lewat mekanisme PAW, atau dibiarkan menggantung dengan status nonaktif.

Situasi makin membingungkan lantaran meski disebut nonaktif, kabarnya mereka masih menerima gaji dan fasilitas sebagai anggota DPR.

“Kalau masih menerima gaji, apa bedanya dengan status aktif? Itu justru bisa memicu gelombang protes baru,” kata Ali.

Langkah “nonaktif” ini dinilai sebagian pengamat sebagai strategi politik jangka pendek. Dengan menonaktifkan kader kontroversial, partai berharap citra mereka tetap aman di mata publik. Namun tanpa kejelasan hukum, status ini bisa dipersepsikan sebagai formalitas belaka.

Sejumlah aktivis antikorupsi juga mengkritik langkah partai. Mereka menilai penonaktifan tidak menyentuh akar masalah, yaitu lemahnya rekrutmen politik.

“Partai harus berani melakukan evaluasi kaderisasi, bukan sekadar menyetop sementara,” kata seorang aktivis yang ikut aksi menolak kenaikan tunjangan.

Kebingungan publik makin terasa ketika partai bungkam soal nasib keanggotaan kelimanya di DPR. Apakah status nonaktif akan berlanjut pada pemberhentian tetap, atau hanya berhenti sebagai jargon politik, masih menjadi teka-teki.

Di tengah situasi penuh tekanan, para pimpinan partai memilih irit bicara. Mereka hanya menyebut langkah nonaktif sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Namun publik tampaknya tak mudah percaya. “Kalau tidak ada langkah tegas, isu ini akan jadi bumerang politik,” ujar Ali menutup pernyataannya.

(Zulkarnain Jumar Taufik / Rahmatia / Unhas.TV)