UNHAS.TV - Suara “hik” yang muncul tanpa diundang, sering kali membuat kita terkejut atau bahkan tertawa kecil. Namun siapa sangka, di balik suara kecil itu tersimpan kerja kompleks salah satu otot paling vital dalam tubuh manusia — diafragma.
Ia bukan sekadar pemicu cegukan, melainkan pengatur utama setiap hembusan napas yang kita hirup sejak pertama kali lahir hingga akhir hayat.
Cegukan atau dalam istilah medis disebut singultus, sebenarnya adalah refleks fisiologis yang terjadi ketika diafragma berkontraksi tiba-tiba dan tidak terkendali.
Otot ini terletak di antara rongga dada dan perut, membentang seperti kubah yang naik dan turun mengikuti irama pernapasan.
Saat kita menarik napas, diafragma menurun dan paru-paru mengembang; saat kita menghembuskan napas, otot ini kembali ke posisi semula.
Namun, terkadang sistem yang bekerja sempurna ini mengalami gangguan kecil. Menurut dr. Marhaen Hardjo, M.Biomed., Ph.D., Ketua Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, cegukan terjadi karena adanya gangguan impuls di otak.
Tepatnya pada pusat pernapasan yang mengatur gerak diafragma. “Ketika diafragma berkontraksi secara tiba-tiba, udara masuk dengan cepat dan pita suara menutup mendadak. Inilah yang menimbulkan suara khas ‘hik’,” jelasnya.
Fenomena ini bisa dipicu oleh banyak hal sederhana: makan terlalu cepat, perubahan suhu minuman yang ekstrem, atau bahkan emosi yang melonjak yakni dari tawa lepas hingga rasa terkejut.
Refleks ini sebenarnya merupakan mekanisme alami tubuh untuk melindungi saluran pernapasan, agar udara tidak masuk secara tidak terkendali. Namun sering kali, refleks tersebut muncul tanpa alasan yang jelas dan mengganggu aktivitas.
Di ruang laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Unhas, berbagai penelitian dilakukan untuk memahami lebih dalam mekanisme kontraksi otot diafragma.
Hasilnya menunjukkan bahwa cegukan bukan hanya urusan otot, tetapi juga berkaitan erat dengan sistem saraf pusat, terutama bagian otak yang mengontrol ritme napas.
Ketidakseimbangan sinyal listrik di area ini dapat memicu reaksi berantai yang menghasilkan kontraksi mendadak.
Bagi sebagian besar orang, cegukan berlangsung hanya beberapa menit. Namun, dalam kasus tertentu, cegukan bisa bertahan lebih dari 48 jam.
Kondisi ini disebut persistent hiccup dan sering kali menjadi tanda adanya masalah medis yang lebih serius, seperti gangguan saraf, refluks asam lambung kronis, atau efek samping obat tertentu.
Sebuah artikel di The New England Journal of Medicine (Fesmire, 2002) menjelaskan bahwa cegukan yang berlangsung lama dapat disebabkan oleh iritasi pada saraf frenikus, saraf utama yang menghubungkan otak dan diafragma.
Penanganannya melibatkan pemeriksaan menyeluruh terhadap sistem saraf, pencernaan, hingga fungsi metabolik pasien.
Selain itu, penelitian yang diterbitkan dalam Frontiers in Neuroscience (Bapat et al., 2021) menemukan bahwa cegukan mungkin memiliki fungsi evolusioner yang lebih dalam.
Pada bayi, misalnya, refleks cegukan diyakini membantu melatih koordinasi antara bernapas dan menelan saat menyusu, sebuah keterampilan vital untuk kelangsungan hidup.
Meski sering dianggap sepele, cegukan menjadi salah satu contoh betapa kompleks dan cerdasnya tubuh manusia dalam merespons perubahan kecil di dalam sistemnya. Setiap “hik” yang terdengar sesungguhnya adalah sinyal dari kerja sama rumit antara otot, saraf, dan otak.
Jadi, saat suara kecil itu muncul di sela-sela tawa atau makan malam Anda, ingatlah bahwa tubuh sedang melakukan sesuatu yang luar biasa — menjaga ritme kehidupan dengan cara yang sederhana namun mengagumkan.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)