.webp)
Dosen FEB Unhas Dr Nur Alamzah SE MSi (dok unhas.tv)
Dari sisi kelayakan, ia menyebut pentingnya evaluasi mendalam terhadap keberlanjutan koperasi secara finansial. Menurutnya, koperasi harus dievaluasi bukan hanya dari sisi sosial, tetapi juga dari indikator ekonomi.
“Ada indikator yang bisa digunakan: payback period, net present value, internal rate of return, sampai profitability index. Itu semua harus dihitung. Apakah koperasi itu layak secara bisnis?
"Apakah bisa menghasilkan dividen untuk anggotanya? Karena tujuan akhirnya adalah mensejahterakan masyarakat,” tegasnya.
Ketika ditanya soal jumlah anggaran Rp400 triliun yang disiapkan pemerintah, ia tidak menampik bahwa dana sebesar itu memang menimbulkan kekhawatiran jika tidak dikelola dengan tepat.
“Program ini tidak main-main karena dananya sangat besar. Kalau desa tidak siap, bisa jadi ini hanya proyek besar yang tidak berdampak,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan desa. Program sebesar ini tidak akan berhasil jika hanya satu pihak yang bergerak.
“Instruksi dari pusat harus direspons dengan cepat dan positif oleh desa. Desa harus punya rencana yang matang, formulasi strategi, dan tentu saja monitoring kinerja. Harus ada kerja sama, tidak boleh jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Dr. Alamzah juga berbagi contoh sukses yang bisa menjadi inspirasi: koperasi petani kopi Gayo di Aceh. Koperasi ini berhasil menghimpun ratusan petani dan bukan hanya menjual kopi mentah, tetapi mengolahnya menjadi bubuk siap saji dan menembus pasar nasional hingga ekspor.
“Sebelum ada koperasi, petani menjual kopi mentah dengan pangsa pasar lokal. Tapi dengan koperasi, mereka bisa produksi massal dan melakukan ekspor. Ini terjadi karena koperasinya menjalankan kolaborasi relasional,” ungkapnya.
Konsep kolaborasi relasional yang ia maksud adalah pola kerja sama antar pelaku usaha skala rumah tangga yang terstandarisasi oleh koperasi.
“Produksi tetap dilakukan di rumah masing-masing, tapi standar kualitas ditentukan koperasi. Jadi meskipun skala rumahan, tetap bisa memenuhi permintaan besar seperti ekspor. Ini pernah saya teliti juga di Sidoarjo, di mana pengrajin koper bisa memenuhi permintaan massal untuk koper haji, bahkan ekspor ke Jerman dan Jepang,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, koperasi juga dapat mendorong hilirisasi produk. Desa tidak hanya menjual bahan mentah seperti gabah atau ikan segar, tetapi bisa menghasilkan beras kemasan, tepung, makanan olahan, atau produk perikanan seperti ikan beku dan kaleng.
“Jadi koperasi bisa mewadahi petani, nelayan, pengrajin. Mereka bisa naik kelas. Bukan cuma jual mentah, tapi menghasilkan produk turunan. Ini bisa meningkatkan nilai ekonomi. Tapi kuncinya tetap: desa harus siap,” kata Alamzah.
Ia menggarisbawahi bahwa semua peluang besar ini akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan penguatan sumber daya manusia. Pemerintah harus hadir memberikan pendampingan, pelatihan, serta membangun sistem pengawasan yang kuat.
“Jangan hanya bentuk koperasi, tapi siapkan manajernya, siapkan pengawasnya. Kalau tidak, koperasi hanya jadi nama. Tidak bergerak,” tutupnya.
Dengan seluruh analisa tersebut, Dr. Alamzah menyimpulkan bahwa program Koperasi Desa Merah Putih merupakan program yang sangat baik secara konsep dan semangat, namun implementasinya memerlukan kehati-hatian dan strategi yang tepat.
Harapan membangun ekonomi dari akar rumput bukanlah utopia jika desa benar-benar diberdayakan dan dilibatkan secara aktif.
Maka, bukan soal bisa atau tidaknya membangun 80 ribu koperasi, tapi apakah kita cukup siap untuk membuat koperasi-koperasi itu bertumbuh sehat, produktif, dan berkelanjutan.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)