UNHAS.TV - Anak muda itu berdiri di tepi perairan Krabi, Thailand. Syal kuning melilit lehernya, baju lapangan Korpala menempel di tubuh yang kecokelatan oleh matahari. Di belakangnya, perahu sandeq bersandar tenang setelah menempuh ribuan kilometer.
Dia mengucapkan terima kasih kepada Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa, yang telah melepas mereka dari Pelabuhan Paotere, Makassar, untuk kemudian bertualang, menjelajah laut, menunggang ombak, hingga kini menggapai pantai di Negeri Gajah Putih.
Anak muda itu bernama Muhammad Nur Akram, ketua tim Ekspedisi Pelayaran Akademis Unhas 2025.
Lewat sebuah video, Akram bercerita bahwa mereka baru saja menuntaskan pelayaran sejauh 2.365 mil laut. Dengan perahu sandeq itulah, tim Korpala Unhas melintas empat negara: Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Mereka berangkat dari Makassar, dengan membawa satu tekad: menapak tilas jejak para pelaut Bugis-Makassar yang sejak abad ke-17 menjelajahi Asia Tenggara.
“Tim telah menuntaskan ekspedisi. Banyak tantangan yang kami hadapi, tapi semuanya bisa kami lalui dengan kebersamaan,” ujar Akram. Suaranya tenang, tetapi ada getar yang menandakan perjalanan ini bukan sekadar program kegiatan mahasiswa.

Perahu yang digunakan Korpala Unhas (foto: Detik)
Ekspedisi ini memang bukan pelayaran biasa. Ia adalah ikhtiar menghidupkan kembali ingatan panjang tentang identitas maritim bangsa, suatu warisan yang kerap terlupakan di tengah hiruk-pikuk daratan modern.
Di masa lalu, laut bukan sekadar ruang perlintasan, melainkan urat nadi peradaban Nusantara. Di atas gelombang itulah terbentuk jaringan dagang, diplomasi, dan pertukaran budaya yang menjadikan Bugis-Makassar dikenal di seluruh Asia Tenggara.
Sejak berabad-abad silam, pelaut Bugis-Makassar telah menguasai lautan tanpa peta modern, hanya berbekal pengetahuan tentang angin, arus, dan bintang. Mereka berdagang di Selat Malaka, berlabuh di Pattani dan Terengganu, bergaul di Singapura dan Johor, bahkan mencapai pesisir utara Australia, di mana mereka mencari teripang dan menukar barang dengan masyarakat Aborigin.
BACA: Saat Korpala Unhas Menggores Jejak Manis di Singapura
Jejak mereka terekam dalam arsip kolonial, kisah lisan, dan bahkan dalam kosa kata: di Arnhem Land, Australia, masih ditemukan kata-kata serapan Bugis dan Makassar yang membekas dalam bahasa setempat.
Namun pelaut Bugis-Makassar bukan sekadar pedagang. Mereka adalah penjaga nilai dan pembawa peradaban. Di setiap pelabuhan, mereka memperkenalkan cara berdagang yang jujur, menghormati tuan rumah, dan menjunjung tinggi harga diri perantau (siri’). Kapal mereka menjadi ruang pertukaran ide dan teknologi.
Dari geladak sandeq, lahir kisah-kisah persaudaraan lintas bangsa, perkawinan budaya, hingga jaringan diaspora yang menyebar di pesisir Nusantara, Malaya, dan Australia.
Dengan demikian, pelayaran Korpala Unhas hari ini bukan semata petualangan fisik, melainkan upaya merekonstruksi memori kolektif bangsa maritim. Ia mengajak generasi muda untuk melihat laut bukan sebagai pemisah, tetapi sebagai ruang yang mempersatukan, tempat lahirnya pertemuan, keberanian, dan peradaban.
undefined






-300x200.webp)

