UNNHAS.TV - Di balik kebiasaan sederhana seorang anak bernapas melalui mulut, tersimpan potensi masalah besar yang kerap terabaikan. Banyak orang tua menganggap hal ini wajar, terutama ketika anak sedang pilek atau kelelahan.
Namun, pakar kesehatan gigi anak mengingatkan bahwa jika berlangsung terus-menerus, pola napas ini dapat berdampak serius terhadap pertumbuhan rahang, susunan gigi, hingga fungsi berbicara anak.
Bernapas idealnya dilakukan melalui hidung. Udara yang masuk lewat hidung akan disaring, dilembapkan, dan dihangatkan sebelum mencapai paru-paru.
Sebaliknya, napas mulut melewati jalur tanpa penyaringan alami, membuat anak rentan terhadap gangguan pernapasan.
Pada beberapa anak, kebiasaan ini muncul karena penyumbatan saluran hidung, pembesaran amandel, atau kebiasaan yang tidak disadari.
Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat memengaruhi keseimbangan otot wajah dan struktur rahang. Anak yang terbiasa bernapas melalui mulut sering terlihat dengan bibir terbuka, otot pipi yang lemah, dan posisi lidah yang tidak ideal.
“Kebiasaan bernapas lewat mulut bukan sekadar masalah estetika. Ini bisa mengganggu fungsi mengunyah, berbicara, hingga keseluruhan tumbuh kembang anak,” tegas Prof. Dr. drg Muh. Harun Achmad M.Kes., Sp.KGA., Subsp.KKA(K)., FSASS, dokter gigi anak dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin.
Lebih lanjut, Prof. Harun menjelaskan bahwa napas mulut dapat memicu ketidakseimbangan tekanan fisiologis di rongga mulut.
Normalnya, lidah memberikan tekanan ke langit-langit mulut sementara bibir menahan gigi dari depan. Namun, saat anak bernapas melalui mulut, tekanan ini hilang.
“Ketika keseimbangan fisiologis tidak terjadi, rahang cenderung tumbuh memanjang, hidung semakin tertutup, dan gigi terdorong ke depan. Akibatnya, anak berisiko mengalami gigi tonggos (protrusif) atau maloklusi, yaitu ketidakteraturan susunan gigi,” ungkapnya.
Masalah ini bukan hanya mengganggu penampilan, tetapi juga dapat menyebabkan kesulitan mengunyah, gangguan artikulasi saat berbicara, dan bahkan masalah tidur.
Orang Tua Perlu Waspada Sejak Dini
Prof. Harun mengimbau agar orang tua memperhatikan pola pernapasan anak, terutama saat mereka tidur. Anak yang tidur dengan mulut terbuka atau sering mengorok mungkin mengalami napas mulut kronis.
“Jika anak sering terlihat bernapas dengan mulut terbuka, segera konsultasikan ke dokter gigi anak atau dokter THT. Semakin cepat ditangani, semakin baik hasil perawatan untuk mencegah gangguan tumbuh kembang orofasial,” sarannya.
Gangguan pernapasan pada anak tidak hanya berkaitan dengan kesehatan paru-paru, tetapi juga berpengaruh pada kualitas tidur, perkembangan otak, hingga perilaku.
Studi di jurnal Pediatric Sleep Medicine (2023) menunjukkan bahwa anak dengan sleep-disordered breathing, termasuk akibat napas mulut, berisiko mengalami gangguan konsentrasi dan prestasi akademik yang lebih rendah.
Selain itu, penelitian oleh American Journal of Orthodontics (2022) menyebutkan bahwa 60% kasus maloklusi pada anak disebabkan oleh faktor pernapasan yang tidak optimal.
Terapi dini, seperti penggunaan alat ortodonti sederhana atau operasi pengangkatan amandel (jika diperlukan), terbukti efektif memperbaiki fungsi pernapasan sekaligus mencegah kelainan bentuk wajah.
Bernapas lewat mulut mungkin tampak sepele, tetapi dampaknya bisa panjang hingga dewasa. Dengan deteksi dini, intervensi medis yang tepat, dan kesadaran orang tua, anak-anak dapat terhindar dari berbagai masalah kesehatan dan estetika yang ditimbulkan.
Kebiasaan kecil ini memang sering terabaikan, tetapi jika dibiarkan terlalu lama, bisa menjadi ancaman besar bagi masa depan anak. Jangan tunda untuk memeriksakan anak ke dokter ketika tanda-tanda napas mulut muncul.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)