
Pengumuman tarif baru oleh Donald Trump disambut dengan reaksi negatif dari pasar keuangan global, yang telah menyaksikan penurunan berturut-turut di seluruh dunia. Credit: Getty Images.
Menurut laporan Financial Times (9/4), kebijakan tarif "eksplosif" Trump ini menyasar produk dari sekitar 60 negara. Ia menyebut langkah ini sebagai strategi untuk melindungi kepentingan domestik Amerika. Ironisnya, kebijakan ini diumumkan hanya empat hari setelah penerapan tarif 10 persen pertama pada negara-negara yang dianggap Trump melanggar prinsip perdagangan yang adil. Strategi 'ekonomi eksplosif' ini bukan sekadar tameng proteksi, melainkan juga pesan lantang dari Gedung Putih kepada dunia: Amerika ingin merebut kembali takhta pusat manufaktur global.
Seketika, kebijakan ini mengguncang fondasi pasar global. Euforia pembukaan bursa saham langsung sirna begitu kabar kenaikan tarif beredar. Saham perusahaan farmasi Amerika, yang sebelumnya aman dari tarif, ikut terhempas dan mengalami penurunan tajam. Semangat investor luntur, digantikan oleh realitas kebijakan proteksionis yang menakutkan.
Tak hanya itu, nilai obligasi pemerintah AS yang biasanya menjadi "pelabuhan aman" di tengah badai pasar, justru mengalami aksi jual besar-besaran. Kekhawatiran akan prospek ekonomi AS dan potensi pembalasan dari negara seperti Tiongkok membuat para investor kehilangan kepercayaan. Bahkan aset yang dianggap paling kokoh pun kini ikut terombang-ambing (CNBC Markets, 9 April 2025). Badai ketidakpastian jangka pendek tampaknya sedang melanda ekonomi Amerika.
Dampak domino juga terasa di pasar energi. Harga minyak mentah Brent terjun bebas di bawah angka psikologis 60 dolar AS per barel, bahkan sempat menyentuh level di bawah 59 dolar AS—terendah sejak Februari 2021, ketika pandemi COVID-19 melumpuhkan permintaan minyak dunia (Reuters, 9 April 2025). Ketika tarif membumbung tinggi, harga minyak justru merosot, seolah dunia sedang mencari keseimbangan baru di tengah kekacauan global.
Negara-negara lain pun tak tinggal diam. Korea Selatan sigap meluncurkan program stimulus darurat senilai 2 miliar dolar AS untuk menopang industri otomotifnya. Sementara itu, Selandia Baru merespons dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 3,5 persen—langkah antisipatif untuk menahan laju kenaikan harga akibat tarif baru (Nikkei Asia & Reserve Bank of New Zealand, 9 April 2025). Respon cepat ini menunjukkan bahwa dunia tidak akan tinggal diam menyaksikan gelombang ekonomi yang dipicu dari Washington.
Di sisi lain, Trump justru menganggap hari pengumuman tarif ini sebagai momen bersejarah. Dalam pidatonya pada 2 April lalu, ia dengan bangga menyebutnya sebagai “Hari Kebebasan.” Ia mengklaim bahwa tarif baru ini akan mengantarkan “era keemasan Amerika” dan membawa kembali “banjir lapangan kerja” ke tanah air (Fox News, 2 April 2025). Retorika populis terus menjadi bahan bakar kebijakan, dengan janji-janji besar yang harus dibuktikan oleh waktu.
Namun, pasar tampak skeptis. Banyak analis menilai kebijakan tarif ini justru akan menambah beban pada pemulihan ekonomi global yang masih rapuh. Sejumlah media keuangan bahkan menjuluki pekan ini sebagai salah satu minggu terburuk bagi pasar sejak tahun 2020, saat pandemi melanda dunia (Wall Street Journal, 9 April 2025). Jika kebijakan tarif ini adalah sebuah pertaruhan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan ekonomi Amerika, melainkan juga stabilitas ekonomi dunia secara keseluruhan. Dunia kini menanti dengan cemas, akankah 'Hari Kebebasan' ala Trump justru berujung pada mimpi buruk bagi perekonomian global?(*)