MAKASSAR, UNHAS.TV -- Di tengah terbatasnya ruang aspirasi formal, karya seni kini tampil sebagai medium kuat untuk menyampaikan keresahan masyarakat terhadap negara.
Tidak hanya sekadar ekspresi emosional, seni dinilai menjadi alat komunikasi alternatif yang subtil namun bermakna dalam menyuarakan kritik sosial.
Salah satu contoh nyata datang dari band lokal, Sukatani, yang menggunakan karya musik untuk mengungkapkan keresahan publik terhadap kinerja sebuah instansi.
Akademisi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Ummi Suci Fathia Bailusy SIP MIP menegaskan bahwa karya seni sebagai bentuk kritik merupakan bagian dari hak berpendapat yang dijamin konstitusi.
Ia merujuk pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Kalau dikatakan mereka melanggar atau tidak, saya malah melihatnya sebagai salah satu perwujudan dari Pasal 28," ujar Ummi kepada Unhas.TV, Jumat, 25 April 2025.
Ia menambahkan, adanya ekspresi melalui seni menunjukkan bahwa sebagian masyarakat merasa ruang komunikasi formal tidak lagi efektif.
Menurut Ummi, pilihan untuk menggunakan karya seni muncul karena keterbatasan jalur komunikasi langsung maupun efektivitas media sosial. Akhirnya, seni menjadi medium penyampaian yang dianggap lebih aman, kreatif, dan berdampak.
"Kalau mau disampaikan langsung ke kantor instansinya, kayaknya tidak mungkin. Ke media sosial sepertinya tidak bakal ngefek," ujarnya.
"Sehingga ada orang-orang yang berpikir, kayaknya dibuatkan karya saja untuk mencoba memberitahukan pada orang banyak, ini yang kami alami," tambahnya.
Namun, sayangnya, tidak semua instansi mampu merespons kritik semacam ini dengan bijaksana. Ummi menilai bahwa ketidakmampuan menerima kritik merupakan indikator rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Ia mendorong agar karya-karya semacam ini tidak langsung ditanggapi dengan sikap defensif. Sebaliknya, pemerintah atau instansi terkait bisa menjadikan kritik tersebut sebagai bahan refleksi dan diskusi terbuka.
"Daripada mengeluarkan statement yang antikritik atau menyudutkan salah satu pihak, yang justru merugikan masyarakat, instansi bisa mengambil pendekatan lain," ujarnya.
"Misalnya, mengadakan forum diskusi (FGD) atau membuat karya tandingan yang mengedukasi masyarakat maupun instansi itu sendiri," ujar Ummi.
Dalam konteks ini, kritik melalui karya seni bukan hanya sah secara hukum, melainkan juga merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
Negara sebagai penyelenggara kehidupan masyarakat semestinya mampu merespons dengan lebih bijaksana dan merangkul, bukan justru meminggirkan suara-suara kritis.
Seni membuka ruang untuk menyuarakan pengalaman kolektif, menggugah empati, dan mendorong perubahan.
Lewat lagu, lukisan, puisi, maupun bentuk ekspresi lainnya, masyarakat berusaha menjembatani jarak yang kadang tercipta antara mereka dan negara.
Karena dalam setiap karya, tersimpan keresahan, harapan, dan suara rakyat yang menunggu untuk didengar. (*)