Oleh: Eka Sastra*
Senja kembali turun perlahan di ufuk Atlantik, membawa angin laut yang lembut menyapu pesisir Casablanca.
Ombak berkejaran seperti bisikan masa lalu, membawa suara-suara yang pernah ditinggalkan: denting gelas di kafe Rick, langkah-langkah tergesa para pengungsi, dan gema lagu As Time Goes By yang pelan mengalun dari jendela tua.
BACA: Casablanca, Cinta yang Tak Lekang oleh Waktu (1)
Di balik dinding-dinding bercat putih dan jalan-jalan sempit yang bermandikan cahaya jingga, kota ini menyimpan sesuatu yang tak terlihat—semacam kesedihan yang indah, sebuah cinta yang tak pernah selesai diceritakan.
Saya berdiri di tepian pantai Val d’Anfa, tempat di mana langit dan laut saling berpeluk, dan tiba-tiba saya sadar: Casablanca bukan hanya kota. Ia adalah ingatan. Ia adalah luka yang membentuk jiwa.

Sebuah kota yang telah berkali-kali jatuh, tapi selalu tahu cara bangkit dengan anggun. Seperti kisah Rick dan Ilsa—penuh derita, penuh jeda, namun tak pernah benar-benar usai.
Penderitaan Casablanca dan warganya, yang lahir dari silih bergantinya kekuasaan dan deretan tragedi penghancuran, seperti nyaris terlupakan hari ini—diredupkan oleh pesona, kehangatan, dan ketabahan yang tetap memancar dari kota ini.
Sejak masa penghancuran oleh serangan Arab, luluh lantak akibat gempuran Portugis, kehancuran oleh Spanyol, hingga serbuan Ottoman dan suku Berber, Casablanca terus mengalami luka-luka sejarah. Ditambah lagi dengan bencana dahsyat: gempa Lisbon 1755 yang diiringi tsunami, serta gempa besar pada tahun 1960, walau tidak sedahsyat sebelumnya.
Namun segala derita itu tidak mampu memudarkan keindahan kota ini, ataupun kehangatan warganya. Yang masih lekat dalam ingatan generasi sekarang adalah masa penjajahan Prancis (1912–1956), masa perang kemerdekaan (1940–1956), dan latar masa perang dunia II yang mewarnai kisah film legendaris Casablanca.
Penjajahan Prancis membawa penderitaan panjang. Banyak warga mengungsi, dan api perjuangan kemerdekaan mulai berkobar. Situasi getir itu terekam kuat dalam cerita film Casablanca, yang dibuat pada 1941.
Kota ini menjadi tempat pelarian sekaligus persinggahan para buronan perang dan kelompok perlawanan yang dikejar Nazi, yang saat itu menguasai hampir seluruh Eropa. Maroko, dikuasai oleh pemerintahan Vichy Prancis—sekutu Nazi namun tetap semi-independen—membuat Casablanca relatif lebih terbuka, namun juga menjadi sarang intrik, ketegangan, harapan, dan ketidakpastian.
Di Casablanca, pasukan Nazi, polisi lokal, kelompok perlawanan, dan warga biasa hidup berdampingan dalam suasana tegang. Semua orang menyimpan agenda masing-masing, bergerak dalam bayang-bayang, di tengah kota yang penuh pelarian, pengkhianatan, dan tembakan yang bisa meletus kapan saja. Sebuah gambaran nyata dari kota di tengah dunia yang dilanda perang brutal.
Michael Curtiz, sutradara kelahiran Hungaria, menangkap suasana itu dengan sangat peka dalam film Casablanca, yang akhirnya mengantarkannya memenangkan Oscar sebagai sutradara terbaik.
Ia memadukan atmosfer politik penuh ketegangan dengan romansa getir, menciptakan sebuah kisah cinta yang sangat manusiawi, di tengah gelapnya peperangan.
>> Baca Selanjutnya