Cukup banyak terkuak di ruang-ruang publik hingga masif di pemberitaan media massa telah memotret ketimpangan dan penderitaan rakyat. Terlebih lagi yang hidup di pelosok. Ketimpangan demi ketimpangan itu muncul di altar kekuasaan, tapi terdengar seperti hal yang tabu.
Di sisi lain, penyelenggara negara mengkalkulasi tunjangan dengan nilai yang cukup fantastis, dan itu dirumuskan secara sadar ditengah kehempitan hidup sebagian masyarakat. Akumulasi kekayaan secara sadar atas persoalan ketimpangan melekat di berbagai sektor kehidupan.
Prinsip "berat sama dipikul, ringan sama dijinjit" seakan tidak berlaku dalam strukur sosial Republik Indonesia. Beban pajak yang dialamatkan kepada masyarakat dalam rumusan regulasi, tapi distribusi keadilan tidak menyentuh akar persoalan.
Perwujudan sistem penyelenggaraan negara justru didesain seperti demokrasi liberal. Dalam istilah Prof Yudi Latif disebut ‘Penjaga Malam’ yang hanya membuka ruang bagi kelompok tertentu untuk mengakumulasi kekayaan.
Kaitan dengan ini, Sutan Sjahrir menyatakan, "Sesekali, tidaklah boleh kepentingan segolongan kecil yang hartawan bertentangan dengan kepentingan golongan rakyat banyak yang miskin. Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan kebahagiaan" (Sjahrir, 1982).
Semangat mewujdkan masyarakat adil seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa rupanya masih tersendat dalam lingkaran ketamakan penyelenggara negara. Belum jauh melangkah pada distribusi keadilan, namun kepongahan elite yang akhir-akhir ini memicu amarah masyarakat, justru mempertontonkan gemerlap materi, tapi miskin integritas.
Di atas penderitaan rakyat, kepongahan elite mempertontonkan gaya hidup royal yang digambarkan Mohammad Hatta dengan istilah ‘Orang Elite’ yang cenderung "tak tahu diri" dan "menghambat jalannya proses persatuan bangsa".
Bung Hatta sudah mengingatkan, bahwa ciri ‘Orang Elite’ pada ujungnya akan memicu ketegangan politik dan kerapuhan stabilitas sosial di tengah masyarakat, manakala sikap hidup royal secara bersamaan mendominasi di atas penderitaan rakyat. Ketika itu terjadi, keretakkan persatuan bangsa Indonesia akan dipertaruhkan.
Persatuan sangat erat kaitannya denga keadilan. Berulangkali Cendekiawan Prof Yudi Latif dalam berbagai kesempatan menerangkan, persatuan dan keadilan tidak bisa saling meniadakan.
Term keadilan dalam kerangka demokrasi di Indonesia mustahil disemai manakala kerusuhan dan perpecahan tidak dapat diredah. Sebaliknya, Persatuan tidak dapat digenggam bilamana ketimpangan terus terjadi dan distribusi kekayaan hanya dinikmati kelompok tertentu.
Sebagai refleksi, pada 1 Desember 1965, Bung Hatta pernah mengirim surat kepada Presiden Soerkarno, bahwa sikap hidup royal para elite negeri jangan sampai harus dibayar oleh penederitaan rakyat.
"Saya tidak keberatan, kalau harga lux, yang hanya dipergunakan oleh kaum kapitalis yang hidupnya mewah, dibebani dengan pajak yang berat, tetapi harga barang-barang keperluan rakyat sehari-hari hendaknya diusahakan semurah-murahnya. Dan harga itu dapat dimurahkan kalau ada sistem distribusi yang baik. Semboyan sebagai melakukan 'Amanat Penderitaan Rakyat' selalu didengung-dengunkan oleh berbagai menteri dan pejabat lainnya, tetapi rakyat disuruh menderita terus dengan tindakan-tindakan ekonomi yang salah."
Tata nilai sebagai penyelenggara negara yang hidup bersahaja telah dicontohkan Bung Hatta. Bukan hanya sederhana, Bung Hatta juga tidak pernah mau menggunakan uang yang bukan haknya.
Buku Mata Air Keteladanan karya Prof Yudi Latif, menguraikan kesaksian mantan sekretaris pribadi Bung Hatta, I Wangsa Widjaja, mengisahkan cerita ketika Bung Hatta jadi orang nomor dua di Indonesia. Setiap bulan selalu ada sisa uang untuk anggaran rutin biaya rumah tangga Wakil Presiden. Uang itu selalu ia kembali ke kas negara.
Ulama besar Buya Hamka pun pernah bertutur. Saat berpidato pada upacara pemakaman Bung Hatta, dengan suara terbata-bata mengatakan, "Seluruh bangsa Indonesia berutang pada Bung Hatta, utang budi yang tidak dapat dibayar, utang yang akan dibawa mati, yaitu jasa dan perjuangan Bung Hatta untuk Indonesia Merdeka...".
Menyelam perjalanan hidup tokoh pendiri bangsa, seharusnya dapat menggugah nurani penyelenggara negara, sebagai sikap keteladanan (role model) yang hidup dan tumbuh dalam laku perbuatan.
Kesederhanaan Bung Hatta setidaknya dapat memenjara sikap ketamakan 'Orang Elite' untuk menempatkan integritasnya sebagai pionir dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.