Opini

Cita-cita Keadilan yang Tersendat

Fadli Ilham
Koordinator I Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Malut-Makassar


PENYELENGGARA Penyelenggara negara yang tidak serius menerjemahkan keadilan dalam implementasi kebijakan, justru mereka sedang melempar bara api di tengah hutan yang kering. Apatah lagi, ketidakadilan itu diciptkakan penuh sadar di tengah keterpurukan penderitaan rakyat yang masih menganga.

Dalam catatan sejarah, Soekarano menyatakan, keadilan menjadi revolusi terakhir bangsa Indonesia. Kehendak demi terciptanya masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. 

Masyarakat adil dan makmur merupakan cita-cita asli dan murni dari masyarakat Indonesia yang talah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. "Masyarakat adil dan makmur tujuan terakhir dari revolusi kita" (Soekarno,1959).

Permenungan keadilan sebagai tujuan terakhir dari Revolusi Indonesia bukan sekadar pemaknaan secara konseptual, tapi lahir dari cita-cita pasca peristiwa besar yang mengorbankan kebahagiaan para pejuang-pejuang bangsa Indoensia. 

Berpuluh-puluh tahun mereka menderita. Berpuluh-puluh tahun meringkuk dalam penjara. Berpuluh-puluh tahun pejuang pejuang bangsa Indonesia menginggalkan kebahagiaan hidupnya. Perjuangan itu, bagi Soekarno, demi "mengejar cita-cita terselenggaranya satu masyarakat adil dan makmur."

Persoalan yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini, menandakan penyelenggara negara semacam membentengi cita-cita terakhir pendiri Republik Indonesia. 

Seperti ada kekeringan kesadaran dan kabut moralitas dalam mewujudkan visi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dimana penderitaan rakyat tidak diletakkan dalam porsi yang paling fundamental sebagai titisan perjuangan dan impian pendiri bangsa.

Harus diakui bahwa distribusi keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Untuk mendeteksi rakyat yang minim mendapatkan akses kebutuhan dan pelayanan dasar di Indonesia, sangatlah mudah ditemukan.

>> Baca Selanjutnya