Opini

Hercules, Preman, dan Hal-Hal yang Tak Dibahas Ian Wilson

Oleh: Yusran Darmawan

Ian Douglas Wilson melangkah pelan ke Aula Syukur Abdullah di kampus FISIP Universitas Hasanuddin, Rabu siang, 28 Mei 2025. Ia mengenakan batik berwarna gelap yang kontras dengan lengan bertato yang terbuka sebagian.

Tato-tato itu bukan sekadar gaya, tapi seakan menjadi preambule visual bagi materi yang hendak ia bawakan—tentang para preman.

Di hadapan ratusan mahasiswa dan dosen, pengajar Murdoch University di Australia itu, mengurai isi bukunya yang belakangan kembali ramai dibicarakan: The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia, atau dalam versi Indonesianya Politik Jatah Preman, terbitan Marjin Kiri.

Ia bicara pelan, jernih, dan sesekali menyelipkan humor. Tapi wajah-wajah di ruangan itu tampak tegang. Pertanyaan yang menggantung di kepala banyak orang adalah: apakah preman itu sesuatu yang legal atau ilegal? Kalau ilegal, mengapa mereka tumbuh di mana-mana, dan bahkan seperti dibiarkan?

Dalam bukunya, Wilson menunjukkan bahwa preman bukan sekadar pelaku kekerasan pinggir jalan. Mereka adalah bagian dari struktur. Ia membongkar bagaimana kekuasaan informal—yang dijalankan oleh preman, ormas, dan kelompok-kelompok jalanan—justru tumbuh subur dalam sistem demokrasi yang penuh celah.

Negara tidak selalu hadir sebagai pelindung warganya, tapi justru bernegosiasi, bahkan berkolaborasi, dengan kekuatan-kekuatan informal demi stabilitas yang semu.

Selama Orde Baru, preman sering dikebiri atau dibina oleh negara. Namun pasca-reformasi, garis itu mengabur. Di banyak kota di Indonesia, preman menjadi broker antara pengusaha dan lahan, antara politisi dan massa, antara negara dan kekuasaan teritorial. Mereka memungut “uang keamanan”, menjaga pasar, mengawal kampanye, bahkan duduk dalam struktur politik lokal.

“Preman bukan sekadar pelaku kekerasan,” ujar Wilson. “Mereka memiliki legitimasi, meski tidak selalu legal.”

Dan bila pernyataan itu masih terasa abstrak, maka satu nama muncul sebagai ilustrasi yang nyata: Hercules Rosario Marshal.

Hercules adalah cermin dari tesis utama Wilson. Ia tidak lahir dari negara, tapi dibesarkan oleh ketidakhadirannya. Ia tidak bekerja untuk hukum, tapi justru beroperasi dalam ruang di mana hukum tak lagi dipercaya.

Sebagai mantan tentara bayangan, penguasa Tanah Abang, dan kemudian tokoh politik, Hercules menyeberangi batas-batas yang dulu tegas: antara kriminal dan aparat, antara jalanan dan parlemen, antara kekerasan dan legitimasi.

Ia membangun organisasi, menyumbang masjid, tampil dalam wawancara televisi, dan mendeklarasikan dukungan pada tokoh-tokoh nasional. Ia bukan pengecualian. Ia adalah pola.

Ketika negara gagal menghadirkan keadilan prosedural, maka otot dan loyalitas mengambil alih. Dan di sanalah preman seperti Hercules justru tampak lebih fungsional daripada negara itu sendiri.

Hal-hal yang Luput

Namun sekuat dan seterperinci apa pun analisis Wilson, tetap ada yang hilang dari catatannya. Kekuasaan preman bukan hanya cerita tentang elite dan struktur politik, tetapi juga tentang rasa takut yang hidup dalam keseharian rakyat—dan bagaimana hal ini bisa dibaca dalam lanskap yang lebih luas, termasuk perbandingan dengan negara lain.

Pertama, suara korban hampir tak terdengar. Di balik grafik dan teori patronase, ada pedagang kaki lima yang dipalak setiap minggu, ada warga pasar yang harus membayar untuk “keamanan” agar lapaknya tak digusur.

Wilson menyampaikan bagaimana preman bekerja untuk sistem, tapi tak banyak bicara tentang bagaimana sistem itu menindas dari bawah. Premanisme bukan hanya soal relasi kuasa, tapi juga tentang psikologi publik yang hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dinormalisasi.


>> Baca Selanjutnya