News
Trending

“Creative Destruction” di Balik Nobel Ekonomi 2025

undefined

Tiga ekonom peraih Nobel Ekonomi 2025 membuktikan: pertumbuhan bukan lahir dari angka, tetapi dari keberanian menghancurkan yang lama. Dari ekonom Joseph Schumpeter, mereka menulis ulang teori kemajuan di abad digital.

***

Pagi yang dingin di Stockholm berubah hangat oleh tepuk tangan. Di ruang konferensi pers Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia, tiga nama disebut bergantian: Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt.

Mereka bukan bintang film atau politisi, melainkan para pemikir yang menyingkap rahasia paling mendasar dari pertumbuhan ekonomi, tentang bagaimana teknologi mengubah hidup manusia.

Ketiganya dianugerahi Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi 2025 atas karya yang menjelaskan bahwa kemajuan ekonomi tidak lahir dari angka-angka semata, tetapi dari keberanian untuk berinovasi dan menghancurkan kebiasaan lama. Sebuah konsep yang dikenal sebagai creative destruction.

Istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Joseph Schumpeter ini menggambarkan siklus abadi dalam ekonomi: setiap kemajuan selalu lahir dari kehancuran sesuatu yang sudah mapan.

Inovasi bukan sekadar menambah sesuatu yang baru, melainkan juga menggantikan struktur lama yang usang. Ketika teknologi baru muncul, ia mengguncang sistem produksi, mengubah cara kerja, dan sering kali menggusur mereka yang tak siap berubah.

Namun dari puing-puing itu lahirlah dunia baru yang lebih efisien, lebih dinamis, dan lebih terbuka terhadap ide segar.

Konsep inilah yang diperluas dan dimatangkan oleh Aghion, Howitt, dan Mokyr dalam karya-karya mereka. Dalam pandangan mereka, creative destruction bukan sekadar gejala ekonomi, melainkan mekanisme utama yang membuat masyarakat bergerak maju.

Ekonomi tidak tumbuh karena stabilitas, tetapi karena ketegangan antara yang lama dan yang baru, antara rasa takut kehilangan dan hasrat untuk mencipta.

Aghion dan Howitt membangun model teoretis yang menunjukkan bagaimana inovasi terus-menerus mendorong pertumbuhan jangka panjang, bahkan ketika setiap kemajuan berarti mematikan industri sebelumnya.

Mereka menegaskan bahwa kebijakan publik seharusnya tidak menghambat perubahan, tetapi mengelolanya dengan memberi ruang bagi pelaku baru untuk tumbuh sambil menyiapkan jaring pengaman bagi mereka yang terdampak.

Sementara itu, Joel Mokyr memberikan fondasi historis untuk memahami dinamika tersebut. Joel menunjukkan bagaimana pada masa Revolusi Industri, kemajuan tidak lahir dari kebijakan ekonomi yang rumit, melainkan dari budaya keberanian intelektual, masyarakat yang memberi ruang bagi eksperimen, perdebatan, dan penemuan.

Dari para pengrajin yang memodifikasi mesin tenun hingga ilmuwan yang menguji teori listrik, semua perubahan itu berawal dari keberanian menentang kebiasaan lama.

Dalam kerangka inilah, Nobel 2025 terasa seperti refleksi bagi dunia yang kini dihadapkan pada revolusi baru: kecerdasan buatan, robotik, dan ekonomi digital.

Di tengah kecemasan akan kehilangan pekerjaan atau tergesernya peran manusia, pesan mereka sederhana tapi mendalam: pertumbuhan sejati hanya lahir ketika masyarakat berani berubah. 

Inovasi yang menakutkan hari ini bisa menjadi fondasi kemakmuran esok jika kita tidak takut menghancurkan yang lama demi menciptakan yang lebih baik.

Dari Sejarah ke Masa Depan

Nama Joel Mokyr bukan hal asing di kalangan sejarawan ekonomi. Profesor di Northwestern University ini telah lama menelusuri bagaimana revolusi teknologi di masa lalu, seperti mesin uap dan percetakan, memicu perubahan sosial dan kesejahteraan luar biasa.

“Mokyr mengajarkan kita bahwa pertumbuhan tidak muncul begitu saja. Ia butuh ekosistem ide, rasa ingin tahu, dan masyarakat yang mau berubah,” ujar Kerstin Enflo, anggota Komite Nobel, saat pengumuman penghargaan itu.


Joel Mokyr memegang buku A Culture of Growth

Dalam bukunya A Culture of Growth, Mokyr menulis bahwa Eropa mengalami lonjakan kemakmuran bukan hanya karena memiliki ilmuwan, tetapi karena menghargai debat, eksperimen, dan kegagalan. Semangat itulah yang ia sebut sebagai budaya inovasi, roh yang sama yang kini menjadi kunci dalam dunia digital dan kecerdasan buatan.

Atas dasar inilah Mokyr diganjar setengah dari hadiah Nobel tahun ini. Ia dianggap berhasil mengidentifikasi prasyarat pertumbuhan berkelanjutan melalui kemajuan teknologi: keterbukaan terhadap ide baru, kebebasan berpikir, dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan.

Dua Penjaga Api Inovasi

Setengah penghargaan lainnya dibagi untuk dua ekonom yang menjadi simbol generasi baru teori pertumbuhan: Philippe Aghion dari INSEAD dan London School of Economics, serta Peter Howitt dari Brown University.

Keduanya dikenal lewat teori yang kini menjadi fondasi ekonomi modern, the theory of sustained growth through creative destruction. Mereka menjelaskan bagaimana inovasi bukan hanya memperbarui teknologi, tapi juga mengguncang status quo, menghapus yang lama agar yang baru bisa tumbuh.

“Pertumbuhan ekonomi bukan soal stabilitas, tapi tentang keberanian menghadapi ketidakpastian,” ujar Aghion dalam sambungan telepon setelah pengumuman penghargaan.

Ia menyebut penghargaan itu sebagai kejutan besar, lalu menambahkan pesan yang terasa seperti nasihat untuk zaman ini: “Keterbukaan adalah penggerak pertumbuhan. Deglobalisasi dan proteksionisme adalah awan gelap yang mengancamnya.”

Aghion dan Howitt mengingatkan bahwa dunia sedang menghadapi paradoks. Di satu sisi, kita hidup di era inovasi paling cepat sepanjang sejarah; di sisi lain, semakin banyak negara yang menutup diri dan menghalangi arus ide serta perdagangan. Bagi mereka, ekonomi tanpa kebebasan berpikir akan kehilangan nyawa.

Jejak Ide dan Arus Zaman

Karya ketiga ekonom ini bukan sekadar teori akademik. Ia adalah cermin perjalanan manusia sendiri, sebuah kisah panjang tentang pencarian makna di tengah perubahan.

Dari Revolusi Industri abad ke-18 hingga revolusi digital abad ke-21, benang merah yang menghubungkan keduanya adalah dorongan manusia untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, meski selalu dibayangi oleh ketidakpastian dan kehilangan.


>> Baca Selanjutnya