Budaya

Dari Buton ke Republik: Susanto Zuhdi dan Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Oleh: Yusran Darmawan*

Di sebuah ruangan yang dingin oleh pendingin udara dan sibuk oleh lalu lintas percakapan pejabat, Menteri Kebudayaan Fadli Zon berdiri dan mengucapkan kalimat yang seakan mengendap dalam sejarah itu sendiri: “Penulisan ulang sejarah Indonesia akan dipimpin oleh Prof. Susanto Zuhdi.”

Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung harapan besar — bahwa sejarah negeri ini, yang selama ini seperti buku lama dengan halaman yang sobek dan bab-bab yang hilang, akan ditulis ulang dengan tangan yang sabar dan pandangan yang jernih.

Maka dari ruang sidang itu, sebuah perjalanan sunyi dimulai. Ia tidak diiringi sorak-sorai, tidak pula dibanjiri headline. Tapi justru dari kesunyian itulah, sejarah mulai merajut ulang dirinya. Di bawah bimbingan seorang sejarawan yang telah mendedikasikan hidupnya bukan hanya untuk mencatat, tapi untuk memahami: Prof. Dr. Susanto Zuhdi.

Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 4 April 1953, Susanto Zuhdi menjalani jalan hidup yang tak gaduh. Ia tidak pernah mengejar popularitas. Ia lebih sering tenggelam dalam arsip, naskah tua, dan sunyi perpustakaan.

Ia menyelesaikan studi sarjananya di UI pada 1979, melanjutkan magister ganda di UI dan Universitas Amsterdam, lalu meraih gelar doktor dengan disertasi tentang Kesultanan Buton — sebuah kerajaan kecil di sudut tenggara Nusantara yang nyaris luput dari perhatian para penulis sejarah nasional.

Ia pernah menjabat sebagai Direktur Sejarah di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, juga sebagai staf ahli Menteri Pertahanan. Namun, karier birokrasi tidak pernah mengubahnya menjadi teknokrat. Ia tetap seorang sejarawan — yang melihat sejarah bukan sebagai laporan, tetapi sebagai nyala batin bangsa.

Dan dari seluruh karyanya, satu yang paling dikenang adalah Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton yang Terabaikan. Ia menulis bukan untuk mengangkat Buton menjadi agung, tetapi untuk menempatkannya secara jujur dalam sejarah Nusantara. Ia menembus kabut glorifikasi dan mitos. Ia tidak hanya membaca arsip kolonial, tapi juga mendengar kabanti — syair lisan orang Buton — sebagai suara sejarah yang setara.

Susanto Zuhdi memahami bahwa sejarah Indonesia tidak bisa ditulis hanya dari pusat. Bahwa Jakarta bukan satu-satunya poros peristiwa. Maka ia menengok ke Buton, ke Cilacap, ke pulau-pulau dan pelabuhan yang bagi banyak orang tampak remeh, tetapi sesungguhnya menyimpan denyut peradaban.


>> Baca Selanjutnya