
Ia menulis Buton bukan sebagai pelengkap kaki lima sejarah Indonesia, tapi sebagai subyek yang hidup — yang kadang menjadi sekutu, kadang menjadi lawan, yang kadang tunduk tapi juga sering melawan.
Ia menunjukkan bahwa Sultan Buton seperti Oputa Yi Koo tidak memilih tunduk pada Belanda, melainkan memilih mati dalam perlawanan. Sejarah bukan soal kalah atau menang, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa memahami dirinya sendiri.
Ia mengingatkan kita pada pemikiran Clifford Geertz: bahwa untuk memahami yang besar, kita harus lebih dulu memahami yang kecil secara mendalam. Geertz menyebutnya sebagai "thick description" — pendekatan yang tak hanya mencatat peristiwa, tetapi menyelami simbol, makna, dan lapisan kultural di dalamnya. Dan itulah yang dilakukan Susanto Zuhdi dalam menggali Buton.
Ia tidak langsung melompat ke pusaran sejarah nasional yang sarat gegap gempita, tetapi memilih jalan sempit dan sunyi: mempelajari Buton, sebuah pulau kecil yang selama ini terabaikan.
Ia meneliti bukan karena ingin menjadikan Buton besar di mata sejarah, tetapi karena ia percaya bahwa dalam denyut kecil kehidupan lokal, terdapat pola-pola yang mencerminkan cara sebuah bangsa berpikir, bertindak, dan bertahan.
Saat mengkaji Buton, Susanto melihat lebih dari sekadar kerajaan kecil. Ia melihat logika politik maritim, strategi diplomasi lokal, negosiasi kuasa dengan kekuatan regional seperti Gowa dan Ternate, serta ambiguitas relasi dengan penjajah Eropa.
Semua itu tidak hanya memberi cahaya bagi Buton, tapi juga membuka jendela untuk memahami watak sejarah Indonesia: yang tidak tunggal, tidak linier, dan penuh ketegangan antara pusat dan pinggiran.
Dengan menggali sejarah Buton, Susanto sesungguhnya sedang melakukan autopsi pada tubuh besar bangsa ini. Ia menunjukkan bahwa untuk memahami Indonesia sebagai republik besar dengan ratusan etnis dan ribuan pulau, kita tak cukup hanya mengkaji peristiwa-peristiwa besar seperti Proklamasi, Revolusi, atau Reformasi.
Kita harus berani menunduk, menyigi jejak-jejak kecil yang selama ini tersembunyi: pelabuhan-pelabuhan sepi, naskah-naskah lokal yang hampir musnah, dan lisan rakyat yang tak tercatat dalam dokumen resmi.
Sejarah yang besar tidak tumbuh dari ruang sidang atau lembar dekrit semata. Ia tumbuh dari perahu-perahu kecil yang berlayar melintasi Teluk Buton, dari syair kabanti yang didendangkan di malam hari, dari surat-surat perjanjian yang ditulis di bawah cahaya pelita.
Kini, ketika ia dipercaya memimpin penulisan ulang sejarah Indonesia menjelang usia kemerdekaan yang ke-80, pilihan itu terasa seperti panggilan takdir. Bahwa bangsa ini akhirnya memilih seorang penulis sunyi, yang bekerja tanpa sorotan, tapi menyalakan lentera-lentera kecil di lorong-lorong gelap sejarah.
Sebagaimana sejarawan E.H. Carr pernah menulis, “History is an unending dialogue between the past and the present.” Maka, sejarah bukan sekadar pengingat, tetapi juga percakapan — tentang siapa kita dulu, dan hendak ke mana kita melangkah sekarang.
Dan dalam percakapan panjang itu, Susanto Zuhdi hadir bukan sebagai penceramah, tetapi sebagai pendengar yang setia. Ia menuliskan ulang sejarah Indonesia bukan untuk menyusun narasi yang lebih megah, tetapi untuk menyempurnakan ingatan kolektif kita — agar bangsa ini, dalam segala keberagamannya, bisa melihat dirinya dengan lebih utuh, lebih jernih, dan lebih adil.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.