Unhas Story

Dari Tinading ke Panggung Nasional, Dewa Ari Danuarta dan Nyala Mimpi yang Tak Padam




Mahasiswa FH Unhas dan Duta Pelajar Dewa Ari Danuarta (dok unhas.tv)


Suaranya bergetar. Matanya sesekali melirik ke arah kamera. Tapi Dewa Ari, mahasiswa semester dua Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tetap melanjutkan jawabannya.

“Enggak apa-apa gugup ya. Yang penting belajar. Daripada kita terus-menerus takut komentar orang, lebih baik kita berusaha dan mencoba,” ujar cowok berdarah Bali ini.

Petikan kalimat itu meluncur dari bibir Dewa saat diwawancarai dalam program UNHAS Story. Tak sedikit yang tersentuh.

Bukan hanya karena nada bicara yang jujur dan tanpa rekayasa, tapi juga karena latar belakangnya: anak dari desa terpencil di Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah, yang kini berani tampil di depan publik, berbicara soal kepemimpinan, hukum, dan peran pemuda.

“Yang paling berdampak dalam hidup saya itu saat jadi student ambassador dari W School waktu SMA,” katanya. Wajahnya sejenak tampak menerawang.

Saat itu, ia menjadi satu-satunya perwakilan dari Pulau Sulawesi. “Saya sendiri enggak nyangka. Anak desa dari Tinading bisa tampil di panggung nasional.”

Itu bukan sekadar prestasi simbolik. Ketokohannya mulai dikenal di kalangan pelajar Toli-Toli. Ia kerap dijadikan panutan oleh adik-adik kelasnya. “Mereka bilang, kalau saya bisa, mereka juga pasti bisa,” ujarnya. Dari situ, benih kepercayaan diri mulai tumbuh subur dalam dirinya.

Setelah masuk Universitas Hasanuddin, Dewa tak tinggal diam. Ia terjun ke berbagai aktivitas sosial dan kepemudaan.

Salah satu yang paling ia kenang adalah saat menjadi moderator dalam kegiatan Bina Desa di Pacelekang, Kabupaten Gowa. Di depan masyarakat yang usianya jauh di atasnya, Dewa membawakan diskusi soal penyuluhan hukum.

“Seorang bapak-bapak di desa bilang, ‘Adik keren sekali, masih semester dua sudah bisa begini’,” kenangnya sambil tersenyum. Ucapan itu baginya seperti pengakuan tidak tertulis atas perjuangan panjang yang ia lalui sejak kecil.

Dibalik semua keberhasilan itu, Dewa tak pernah lupa sosok yang paling berjasa dalam hidupnya: ibunya. Seorang perempuan tangguh yang membesarkan tiga anaknya seorang diri.

“Mama single parent yang luar biasa. Dari kecil sampai sekarang, mama selalu kasih kebebasan asal itu hal positif,” katanya. “Saya bisa mandiri, bisa belajar kerasnya hidup di kota besar karena Mama.”

Ia lantas menyampaikan pesan khusus: “Halo Mama, terima kasih sudah kasih kepercayaan ke anakmu ini. Semoga Mama sehat selalu.”

Saat ditanya apa yang ingin ia sampaikan pada dirinya sendiri di masa lalu, Dewa menjawab dengan mata berkaca-kaca. “Untuk Dewa kecil, terima kasih ya sudah ambis sejak dulu. Udah percaya sama diri sendiri walau banyak yang julit.”

Menurutnya, keberanian untuk bersinar bukan ditentukan dari besarnya panggung, tapi dari keberanian untuk percaya pada diri sendiri. “Orang bilang kita harus ada di panggung besar. Tapi sebenarnya, di panggung kecil pun kita bisa bersinar asal kita yakin.”

Kalimat itu, kata Dewa, menjadi prinsip hidupnya. Ia ingin menjadi seperti matahari kecil di ruang gelap. “Berani bersinar di mana pun berdiri,” ujarnya, mengutip tagline acara.

Ia dikenal sebagai pribadi fleksibel, supel, dan mampu menjalin relasi dengan siapa saja. Teman-temannya mengakui, Dewa bisa hadir di berbagai lingkungan tanpa kehilangan jati dirinya. “Karena yang penting kita tahu nilai-nilai kita sendiri,” katanya mantap.

Di balik pembawaannya yang santai dan terbuka, tersimpan ambisi yang tak main-main. “Saya ingin berdampak bagi banyak orang. Ingin berprestasi, bisa banggakan keluarga, angkat derajat mereka. Saya juga pengen ke luar negeri gratis lewat beasiswa kampus.”

Dewa tak ingin sekadar dikenal. Ia ingin dikenal karena prestasi. “Saya ingin satu Unhas kenal Dewa bukan karena viral, tapi karena kontribusi nyata,” ujarnya. “Karena saya enggak gampang nyerah.”

Meski masih semester dua, ia sudah punya rencana jangka panjang. Setelah lulus S1, Dewa ingin fokus dulu membangun karier. “Kalau sudah mapan, baru lanjut S2 dan mungkin sampai S3,” katanya. Pendidikan, menurutnya, tetap jadi prioritas.

Itu pula yang ditanamkan ibunya sejak dulu. “Mama selalu bilang, biar enggak makan asal pendidikan nomor satu. Karena pendidikan itu yang akan bawa hidup kita naik.”

Dulu, Dewa bermimpi menjadi jaksa. Tapi kini arah itu bergeser. “Saya tertarik jadi hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya mantap. Ia ingin berada di posisi yang bisa memberi keputusan adil bagi masyarakat.

Saat wawancara hampir usai, ia menatap kamera dan memberi pesan yang mencerminkan jiwanya: “Gagal itu biasa. Tapi keberanian untuk bermimpi dan berusaha itulah yang luar biasa. Karena sukses lahir dari keberanian kita, bukan penilaian orang lain.” (*)