UNHAS.TV - Di tangannya, selempang bukan sekadar simbol kehormatan. Ia adalah beban tanggung jawab. Amanah. Dan, barangkali, senjata untuk menembus tembok ketidakadilan sosial yang kerap membungkam suara anak muda.
Adalah Andi Arham Ramadhan Pawellangi, mahasiswa semester enam Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang menjadikan panggung kedutaan bukan sekadar ajang pencitraan, melainkan media perjuangan.
Dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan, ia menyandang dua gelar bergengsi: Duta Museum Sulawesi Selatan dan Duta Generasi Berencana (Genre) Indonesia 2024 kategori berdampak.
Di balik wajah ceria dan gaya bicara yang lantang, Arham menyimpan kisah yang berlapis. Ia sempat bermimpi menjadi dokter bedah. Namun pandemi mengubah segalanya.
“Motivasi belajar menurun, dan saya mulai kehilangan arah,” ujarnya. Tapi justru di masa penuh kebimbangan itu, ia menemukan panggilannya: hukum dan perjuangan hak anak.
Tak banyak remaja yang sejak usia SMP sudah aktif di Forum Anak Kabupaten Gowa. Apalagi yang bertahan hingga nasional. Arham salah satunya.
“Saya melihat ketimpangan sejak usia belia. Anak-anak yang terpaksa menikah dini, teman sebaya yang mengalami kekerasan verbal dan fisik,” tuturnya. Ia tak ingin menjadi penonton. Ia melangkah ke depan.
Jurusan Ilmu Hukum Administrasi Negara pun menjadi pelabuhan. “Saya ingin masuk ke akar permasalahan: kebijakan publik. Saya ingin suatu saat menjadi kepala daerah, dan memperbaiki sistem dari dalam,” katanya tanpa tedeng aling-aling.
Mungkin banyak yang menganggap jabatan duta hanya sebatas ajang kompetisi glamor. Tapi bagi Arham, gelar itu memberikan legitimasi untuk bicara lebih keras, lebih luas, dan lebih didengar.
“Saat masih jadi masyarakat biasa, suara kita kerap dianggap remeh. Tapi saat pakai selempang duta, saya punya ruang lebih untuk mengintervensi isu sosial,” ujarnya.
Ia pertama kali mencicipi atmosfer selempang ketika menjadi Duta Anak Kabupaten Gowa dan Provinsi Sulsel tahun 2019.
Pengalaman itu membuka jalan ke Forum Anak Nasional, di mana ia turut membacakan Suara Anak Indonesia di hadapan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Salah satu usulan kami terkait batas usia perkawinan akhirnya diakomodir dalam revisi undang-undang,” kata Arham. Suaranya terdengar bangga, tapi tak jemawa.
Lalu datanglah Duta Museum. Banyak orang bertanya-tanya: museum dan anak muda? “Saya ingin keluar dari zona nyaman, menantang diri di ruang yang belum saya kenal,” katanya.
Ia pun mendaftar. Lolos. Dan di grand final, ia menghadapi pertanyaan dari empat dewan juri profesional: kepala museum, asosiasi museum nasional, dan pakar sejarah.
Digitalisasi Museum agar Lebih Relevan
>> Baca Selanjutnya