Oleh:Khusnul Yaqin*
Pancasila sejak awal digali sebagai dasar negara, tidak hanya menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga menjadi pedoman etis dalam membangun kerukunan di tingkat lokal, termasuk di dalam lingkup kecil seperti kompleks perumahan. Demokrasi Pancasila bukanlah sekadar prosedur pengambilan keputusan, melainkan cara hidup bersama yang menempatkan setiap warga sebagai subjek, bukan objek dari pembangunan. Dalam konteks sederhana, pembangunan got di sebuah kompleks dapat menjadi contoh nyata bagaimana demokratisasi Pancasila dapat diwujudkan: ia tidak boleh sekadar dipandang sebagai proyek teknis, tetapi sebagai program sosial-ekologis yang mengedepankan partisipasi, musyawarah, dan penghormatan terhadap hak semua pihak, termasuk hak ekologis air dan tanah.
Dalam demokrasi liberal, keputusan sering kali diambil berdasarkan mayoritas suara, sementara minoritas harus tunduk. Namun, Demokrasi Pancasila lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat yang diwarnai semangat kekeluargaan. Setiap warga memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, dan hak itu tidak boleh ditekan atau diabaikan. Pembangunan got tidak boleh dilihat semata-mata dari kacamata proyek, apalagi hanya menjadi ruang keuntungan bagi pemborong. Got yang dibangun harus benar-benar memperhatikan kebutuhan warga, tata ruang kompleks, dan keindahan yang sudah ada. Pembangunan itu harus mengikuti logika bangunan yang kokoh dan indah. Pembgaunan got itu tidak boleh merusak logika dan konstruksi bangunan yang benar. Sebagai contoh bangunan got itu tidak boleh justru menutup jalan keluar saluran rumah warga. Dengan demikian, pembangunan tidak mengorbankan harmoni sosial dan estetika lingkungan.
Ketika pembangunan got dilakukan secara sepihak, tanpa dialog dengan warga, maka risiko konflik sosial akan muncul. Ada warga yang mungkin tidak setuju karena khawatir merusak bangunan lama yang masih rapi, ada pula yang khawatir tentang biaya kualitas bangunan yang lebih buruk.
Demokrasi Pancasila hadir untuk menjembatani semua perbedaan itu. Setiap keputusan harus ditempuh melalui musyawarah yang tulus, bukan sekadar formalitas. Ketua RT sebagai penggerak bukanlah mandor proyek, melainkan fasilitator dialog. Ia harus mampu mengajak warganya duduk bersama, mendengar dengan empati, dan mencari titik temu yang adil bagi semua pihak. Dengan cara itu maka tidak ada yang merasa dizalimi.
Keindahan sebuah kompleks tidak hanya diukur dari jalan yang mulus, got yang lurus, atau taman yang hijau. Keindahan juga harus dilihat dari perspektif ekologis. Air, misalnya, bukan sekadar benda cair yang harus segera dialirkan ke luar kompleks melalui got yang kaku. Air memiliki “hak ekologis” untuk masuk ke dalam tanah, meresap melalui biopori, dan kembali menjadi bagian dari siklus hidrologi, agar sumur warga tidak kering. Apabila pembangunan got dilakukan asal-asalan, menutup pori-pori tanah dengan semen, maka air hujan akan kehilangan jalannya untuk meresap. Pembangunan got sewajibnya menyertakan konstruksi biopori, sebagai saluran air untuk diserap kembali oleh tanah. Akibatnya, banjir bisa mengancam, sumur warga bisa kering, dan kualitas lingkungan menurun.
Maka, pembangunan got dalam perspektif Demokrasi Pancasila bukanlah sekadar menyalurkan air, tetapi bagaimana air tetap dihormati sebagai bagian dari kehidupan ekologis. Got yang baik tidak hanya rapi secara fisik, tetapi juga ramah lingkungan, dengan jalur resapan, lubang biopori, dan desain yang estetis. Dengan demikian, pembangunan itu tidak sekadar memperindah kompleks secara visual, tetapi juga memperindahnya secara ekologis, sejalan dengan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat, termasuk keadilan ekologis bagi generasi mendatang.

Ilustrasi demokratisasi Pancasila dalam pembangunan saluran air yang ekologis.
Dalam Islam, dialog dan musyawarah adalah prinsip yang sangat ditekankan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 159).
Ayat ini menekankan pentingnya kelembutan dalam memimpin. Ketua RT, atau siapa pun yang diberi amanah, harus mengedepankan kelembutan hati, bukan kekerasan atau pemaksaan.
Selain itu, Allah juga berfirman: “...sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka...” (QS. Asy-Syūrā [42]: 38).
Ayat ini menegaskan bahwa musyawarah adalah jalan yang diakui syariat untuk menyelesaikan urusan bersama. Maka, dalam konteks pembangunan got, musyawarah harus menjadi jantung proses pengambilan keputusan. Tidak ada warga yang dipaksa. Tidak ada suara yang diabaikan. Semua didengar, semua dihargai.
Ketua RT dalam hal ini memiliki peran penting sebagai mediator. Ia bukan sekadar eksekutor kebijakan, tetapi teladan moral dalam menggerakkan partisipasi warga. Dialog yang ia bangun tidak boleh bernada instruktif semata, melainkan persuasif dan penuh keteladanan. Dengan gaya komunikasi yang lembut, ia dapat menjelaskan mengapa got perlu diperbaiki, bagaimana got itu harus ramah lingkungan, dan bagaimana warga bisa ikut serta tanpa merasa terbebani.
Misalnya, ia dapat mengatakan: “Bapak-Ibu sekalian, got kita memang masih bagus, tapi ada beberapa titik yang tersumbat. Kalau kita bangun got baru, mari kita pikirkan bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk anak cucu kita. Kita buat lubang resapan agar air tetap meresap ke tanah, kita buat biopori agar taman kita tetap hijau. Saya ingin dengar pendapat Bapak-Ibu, agar kita bisa putuskan bersama tanpa ada yang merasa terpaksa.”
Kalimat semacam ini lebih sejalan dengan semangat Demokrasi Pancasila dan ajaran Al-Qur’an tentang kelembutan. Dengan pendekatan demikian, warga tidak akan merasa didikte, melainkan diajak menjadi bagian dari solusi bersama.
Pembangunan fisik, jika dilakukan dengan cara yang salah, bisa menghancurkan kerukunan sosial. Tetapi jika dijalankan dengan semangat Demokrasi Pancasila, justru menjadi sarana mempererat persaudaraan. Ketika warga duduk bersama, berdialog, dan mengambil keputusan dengan mufakat, maka mereka belajar saling menghargai, saling mendengar, dan saling mendukung. Got bukan lagi sekadar saluran air, tetapi simbol kerukunan sosial yang dibangun di atas dasar keadilan dan musyawarah.
Lebih jauh, pembangunan got yang ramah lingkungan akan menumbuhkan kesadaran ekologis di tengah warga. Mereka belajar bahwa pembangunan tidak boleh memutus siklus alam, bahwa air pun punya hak untuk kembali ke tanah. Kesadaran ekologis ini sejalan dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, sebab memperlakukan alam dengan adab adalah bagian dari memperlakukan diri kita dengan adab.
Demokratisasi Pancasila bukan teori yang berhenti di buku pelajaran. Ia adalah panduan praktis untuk kehidupan sehari-hari, bahkan dalam urusan yang tampak sederhana seperti pembangunan got. Dengan semangat musyawarah, penghormatan terhadap hak warga, dan kesadaran ekologis, pembangunan got dapat menjadi cermin bagaimana Demokrasi Pancasila menyejukkan kehidupan sosial dan lingkungan. Ketua RT sebagai fasilitator harus meneladani kelembutan yang diajarkan Al-Qur’an, mengajak warganya dengan penuh persuasif, dan memastikan bahwa setiap langkah pembangunan bukanlah paksaan, melainkan hasil kesepakatan bersama. Di dalam kompl ks ketua RT juga sebaiknya mengawasi pembangunan got yang dilakukan pekerja atas perintah pemborong, agar pembangunannya tidak asal jadi. Tanpa pengawasan dari pak RT, akan terjadi konflik sosial akibat pembangunan got dengan kualitas yang buruk. Tapi jika pak RT mengawasi jalannya pembangunan got dan memperhatikan keluhan warga secara serius, maka pak RT akan menjadi pejuang yang dihormati warga.
Dengan cara itu, kompleks perumahan bukan hanya akan terlihat indah secara fisik, tetapi juga harmonis secara sosial dan ekologis. Itulah kerukunan sejati, kerukunan yang dibangun dengan ruh Demokrasi Pancasila.
*Penulis, Guru Besar pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin