Oleh: Yusran Darmawan
Di Ruang Oval, dua sosok saling menatap, lalu tengkar. Donald Trump, presiden yang melihat perang sebagai beban yang harus segera disingkirkan, dan Volodymyr Zelensky, pemimpin sebuah negara yang tak pernah benar-benar tidur sejak 2022.
Tak ada jabat tangan erat, hanya tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dingin dari musim dingin di Kyiv. Beberapa menit kemudian, kesepakatan yang seharusnya ditandatangani menguap begitu saja. Zelensky meninggalkan Gedung Putih, tanpa harapan, tanpa janji.
Apa yang terjadi di dalam ruangan itu, mungkin, sudah bisa ditebak sejak awal. Trump adalah presiden yang melihat segalanya sebagai transaksi, bukan komitmen. Baginya, Ukraina hanyalah satu variabel dalam persamaan besar yang disebut “kepentingan nasional Amerika.”
Sementara Zelensky, mantan aktor yang kini menghidupi peran paling tragis dalam hidupnya, datang dengan satu keinginan: memastikan Ukraina tetap bertahan. Tapi dunia, sayangnya, bukan panggung yang bisa diatur dengan naskah yang sempurna.
John Mearsheimer, akademisi dari Universitas Chicago, yang sejak awal skeptis terhadap keterlibatan Amerika dalam konflik ini, sudah melihat ini datang dari jauh.
Bagi Mearsheimer, Ukraina telah membuat kesalahan besar dengan terlalu bergantung pada dukungan Barat. Dalam teorinya, politik internasional bukan soal moralitas, tetapi soal kekuasaan. Dan dalam permainan kekuasaan, negara kecil seperti Ukraina sering kali hanya menjadi bidak di papan catur yang lebih besar.
Ketika keluar dari Gedung Putih, Trump berbicara kepada wartawan dengan nada khasnya: tegas, tanpa basa-basi. “Saya sudah katakan sejak awal, ini bukan perang kita. Kita tidak akan terus menghabiskan miliaran dolar untuk sesuatu yang seharusnya bisa diselesaikan dengan negosiasi. Saya ingin perdamaian, bukan perang yang tak ada akhirnya.”
Di sisi lain, Zelensky yang berdiri di depan pintu masuk Gedung Putih memberikan pernyataan dengan nada yang berbeda—penuh keprihatinan dan ketegasan. "Jika kita berhenti sekarang, ini bukan perdamaian. Ini kekalahan. Bagi Ukraina, bagi demokrasi, dan bagi seluruh dunia yang percaya pada kebebasan."
Tapi perang ini, mungkin, bukan sekadar soal geopolitik atau demokrasi. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tersembunyi di bawah tanah Ukraina—mineral tanah jarang.
Washington mungkin tidak lagi ingin mendanai perang yang panjang dan mahal, tetapi mereka tidak akan begitu saja kehilangan akses ke sumber daya ini. Bukan kebetulan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika mulai menjalin kontrak dengan Kyiv untuk eksplorasi sumber daya alam.
Mineral tanah jarang—seperangkat unsur yang sangat dibutuhkan untuk teknologi modern, mulai dari baterai kendaraan listrik hingga sistem persenjataan canggih—menjadi semakin strategis.
Jika selama ini dukungan AS terhadap Ukraina didasarkan pada retorika kebebasan dan demokrasi, kini ada perhitungan lain yang bermain. Bantuan militer mungkin akan berkurang, tetapi investasi dalam eksplorasi sumber daya akan meningkat.
Ukraina mungkin tidak akan dibiarkan jatuh ke tangan Rusia, tetapi bukan karena alasan yang selama ini disampaikan dalam pidato-pidato diplomatik.
Elena Kovalenko, analis geopolitik Ukraina, menyoroti bagaimana perubahan fokus ini bisa menimbulkan ketegangan baru. Bagi Ukraina, perang adalah soal eksistensi, tetapi bagi Amerika, ini bisa jadi hanya soal akses terhadap komoditas strategis.
Jika Kyiv merasa bahwa dukungan yang diberikan lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dibandingkan solidaritas sejati, maka perpecahan bisa terjadi bukan hanya antara Ukraina dan Rusia, tetapi juga antara Ukraina dan Barat.