News

Doa yang Menembus Langit: Kisah Kembalinya Bilqis

undefined

Malam itu, di sebuah rumah kontrakan sederhana di pinggiran Kota Jambi, pintu kayu reyot terbuka perlahan. Dari dalam, cahaya lampu neon yang kuning redup menyoroti wajah kecil yang letih.

Bilqis Ramdhani, bocah empat tahun yang seminggu terakhir namanya menjadi jeritan doa di seluruh negeri, duduk meringkuk di sudut ruangan. 

Jaket lusuh menutupi tubuh mungilnya, rambut ikalnya kusut, dan matanya yang dulu berbinar saat berlari dengan balon merah di Taman Pakui Sayang, kini tampak kehilangan cahaya.

Seorang polisi wanita berjongkok di depannya. Dengan suara selembut senja, ia berkata, “Bilqis, Nak… jangan takut. Kami akan membawamu pulang ke Mama.”

Kalimat itu sederhana, tapi seolah mengguncang langit. Di Makassar, ratusan kilometer jauhnya, seorang ibu menangis tersedu. Tangis yang bukan lagi duka, melainkan kelegaan seorang ibu yang doanya akhirnya menembus langit.

*** 

Semua bermula pada Minggu pagi, 2 November 2025. Taman Pakui Sayang di jantung Makassar biasanya penuh tawa anak-anak.

Di sanalah Bilqis, dengan balon merah di tangan, bermain tak jauh dari ayahnya yang sedang berolahraga. Beberapa meter saja jaraknya. Tapi dunia bisa berubah hanya dalam satu kedipan mata.

Rekaman CCTV kemudian memperlihatkan seorang perempuan berkaus hitam menggandeng Bilqis keluar gerbang taman. Saksi bilang, perempuan itu menawarkan es krim.

Hanya itu. Setelahnya, balon merah terlepas ke langit, melayang seperti doa yang kehilangan arah.

Sejak saat itu, waktu berhenti bagi keluarga kecil itu. Poster wajah Bilqis memenuhi kota. Tagar #CariBilqis dan #BilqisHilang menjelma seruan nasional. Di setiap ponsel, di setiap timeline, ada satu nama yang diucap dengan harap dan doa.

Di sebuah masjid kecil di Rappocini, seorang ibu bersujud setiap malam. “Ya Allah, kembalikan anakku. Biarkan dia memanggilku Mama sekali lagi.” Suara itu lirih tapi menggema, sebab cinta seorang ibu selalu lebih keras dari keputusasaan.

*** 

Polisi menyisir rekaman CCTV dari satu sudut kota ke sudut lain. Dari taman di Pettarani hingga pelabuhan Paotere. Setiap detik tayangan diperiksa, setiap wajah dicocokkan. Mereka menelusuri mobil yang lewat, kapal penyeberangan yang berangkat malam itu, hingga rumah kontrakan yang mencurigakan di pinggiran kota. 

Dari Makassar, jejak itu menyeberang lautan menuju Jawa, lalu ke Sumatera. Laporan kecil dari masyarakat—entah tentang anak perempuan di warung, atau bocah asing di pelabuhan—semuanya diverifikasi satu per satu. Tak ada yang terlalu remeh ketika nyawa seorang anak menjadi taruhannya.

Warga ikut mencari dengan cara mereka sendiri. Ojek online berbagi foto Bilqis di grup komunitas. Di semua grup percakapan warga Makassar, orang membahas Bilqis.

Di grup keluarga, pesan berantai berisi doa dan harapan menyebar lebih cepat daripada berita resmi. Dalam diam, banyak yang menyisihkan waktu di sela kesibukan untuk melafazkan satu doa yang sama: semoga anak itu ditemukan.

Wartawan ikut berlari bersama waktu. Setiap berita baru yang mereka tulis bukan sekadar laporan, tapi percikan harapan agar publik tetap peduli. Dan di dunia digital—yang sering kita salahkan karena kebisingannya—media sosial justru menjadi ruang yang paling sunyi dan tulus. 

Orang-orang yang tak pernah saling kenal menulis nama yang sama: Bilqis. Ada yang menambahkan emoji balon merah, ada yang menulis ayat, ada pula yang hanya menulis satu kalimat sederhana: Tuhan, lindungi dia.

Itu hari-hari ketika algoritma berubah jadi doa, dan jari-jari manusia menjadi alat penyelamat. Ketika batas antara dunia maya dan nyata lenyap, karena yang bergerak bukan sekadar klik, melainkan empati yang nyata, dari hati yang sama-sama takut kehilangan seorang anak kecil bernama Bilqis.

Hari-hari itu berjalan lambat, seolah waktu ikut menahan napas bersama seluruh kota. Di setiap perempatan, di warung-warung kopi, di pos ronda, orang membicarakan hal yang sama: Sudah ada kabar Bilqis? 

Suara itu menyebar seperti gema yang tak pernah hilang. Di tengah rasa cemas yang menyesakkan, orang-orang yang bahkan tak mengenal keluarga Bilqis mendadak merasa terhubung karena mereka pun punya anak, keponakan, atau sekadar kenangan tentang tawa kecil di taman.

Seorang sopir truk di Pelabuhan Soekarno-Hatta mengaku melihat anak kecil mirip Bilqis di kapal tujuan Palembang. Seorang penumpang bus malam di mengirimkan foto buram dari kursinya, berharap bisa membantu.


>> Baca Selanjutnya