Unhas Speak Up

Dosen HI Unhas Bahas Perang Dunia Ketiga

UNHAS.TV – Saat dunia belum juga selesai mengurai simpul kusut Palestina-Israel, api baru menyala di Timur Tengah. Iran dan Israel saling mengacungkan senjata, dan seluruh planet tampaknya menahan napas.

Di studio Unhas TV, Agussalim Burhanuddin, dosen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, membuka percakapan dengan satu kalimat yang sunyi tapi keras: “Peluang untuk tidak terjadi perang dunia ketiga masih sangat besar.”

Agus bukan sekadar pengamat. Ia baru saja berbicara dalam diskusi tertutup yang membedah kekuatan destruktif dari konflik Iran-Israel. Konflik ini, katanya, bukan hanya tentang Iran dan Israel. Ini soal nuklir, rezim, kepentingan Amerika, dan perang narasi yang kini mengalir deras di media sosial.

Titik tolaknya, menurut Agus, adalah program nuklir Iran yang diklaim Israel sudah mencapai ambang 90 persen pengayaan uranium. Artinya: satu langkah lagi menuju senjata termonuklir. Tapi di balik alasan teknis itu, ada ambisi lebih dalam.

“Israel sebenarnya mengincar pergantian rezim di Iran,” ujar Agus. “Mereka ingin mengulang pola yang sama seperti di Irak atau Libya—mengganti pemimpin, membentuk tatanan baru.” Serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran: Fordo, Natanz, dan Isfahan menjadi sorotan dunia.

Tapi Agus menilai serangan itu tidak efektif. “Iran sudah memindahkan aset-aset penting sebelum serangan. Bahkan pintu masuk Fordo masih utuh. Ini serangan teatrikal.”

Mengapa Amerika melakukannya? Jawaban Agus membuat wajah konflik ini tampak lebih kompleks. Ia menyebut tekanan dari kelompok lobi pro-Israel, AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), yang punya pengaruh besar dalam politik domestik AS. “Trump sadar mayoritas rakyat Amerika tidak ingin perang. Tapi ia juga punya utang politik kepada AIPAC,” ujarnya.

Diskusi pun bergeser ke soal nuklir secara umum. “Senjata nuklir itu paradoks,” kata Agus. “Fungsinya justru hanya efektif ketika tidak digunakan. Ia adalah senjata untuk mencegah serangan, bukan untuk menyerang. Konsepnya: jika kau serang aku, kita semua hancur.”

Konsep itu dikenal sebagai Mutual Assured Destruction—jaminan kehancuran bersama. Dan Iran, meski masih menjadi bagian dari rezim NPT (Non-Proliferation Treaty), bisa saja mundur jika tekanan terus datang.

“Kalau kalian menyerang saya, saya keluar dari NPT, lalu mengembangkan senjata secara terang-terangan,” Agus memberi gambaran kemungkinan yang sangat mungkin.

Faktor Geopolitik

Rusia dan Cina, dua kekuatan besar yang tidak langsung terlibat, ternyata punya peran penting di belakang layar. Rusia telah menjalin aliansi militer dengan Iran, bahkan memasok drone Shahed yang digunakan di Ukraina.

Cina, meski lebih berhati-hati, juga menunjukkan dukungan tersirat. “Kalau AS sibuk di Timur Tengah, siapa tahu Cina bisa masuk ke Taiwan,” ujar Agus. “Tapi Cina juga khawatir kalau Selat Hormuz ditutup. Itu jalur minyak mereka.”

Konflik Iran-Israel menjadi panggung rivalitas baru. Bukan hanya perang senjata, tetapi pertarungan pengaruh, pasar minyak, dan kekuatan narasi. Di sisi lain, negara-negara Arab yang dulu bersatu menyerang Israel kini justru mengecam serangan terhadap Iran.


>> Baca Selanjutnya