Unhas Figure

Saat Unhas dan Muhammadiyah Bersua di Persimpangan Nilai

Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., berdiri di podium Balai Sidang Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), memandang ribuan hadirin yang memenuhi ruangan. 

Sorot matanya teduh, namun dalam. Ia tidak datang sebagai tamu kehormatan, melainkan sebagai keluarga—sesama pejalan yang meniti jalan panjang dalam ranah intelektual dan keimanan.

Pagi itu, Kamis (19/6/2025), dalam suasana Milad ke-62 Unismuh, aula kampus dakwah itu tidak hanya menjadi ruang seremoni, tapi seolah menjelma ruang pertemuan batin antara dua institusi yang berbeda dalam sejarah, namun sejiwa dalam cita-cita. 

Unhas dan Muhammadiyah—dua nama besar dalam dunia pendidikan Indonesia—bertemu bukan dalam lomba prestise, tapi dalam simpul persaudaraan yang lahir dari kesamaan niat: mengabdi melalui ilmu, membangun melalui amal.

Ketika Prof. Jamaluddin Jompa memulai orasinya, suasana menjadi hening. Setiap kata yang ia ucapkan bukan hanya argumen akademik, tetapi juga seruan batin. Ia berbicara tentang perubahan, tentang masa depan yang perlu dipersiapkan sejak kini, dan tentang pentingnya keberanian bermimpi.

“Kalau ingin melampaui Unhas, siapkan SDM-nya. Itu bukan hanya mungkin, tapi sangat mungkin,” ucapnya lantang, sekaligus bersahaja.

Kalimat itu bukan sekadar motivasi, tapi ajakan untuk saling mendoakan. Sebuah pengakuan bahwa kejayaan bukan hak istimewa satu kampus, melainkan ruang bersama yang bisa dihuni siapa saja yang bersungguh-sungguh.

Di ruang itu, semangat kolaborasi lebih terasa ketimbang kompetisi. Yang hadir bukan rival, melainkan mitra dalam perjuangan panjang menyalakan lentera ilmu.

Ilmu yang Bertabur Amal

Muhammadiyah sejak awal bukan hanya organisasi keagamaan; ia adalah gerakan ilmu dan amal. Lembaga pendidikannya tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari keprihatinan. Dari kesadaran bahwa kejahilan adalah pintu ketertindasan, dan bahwa pencerahan hanya mungkin jika ilmu dikembalikan kepada masyarakat.

Unhas, meski lahir dari garis sejarah yang berbeda, memelihara bara semangat yang sama. Dalam orasinya, Prof. Jamaluddin berbicara tentang kampus futuristik, tentang riset yang tidak hanya canggih tapi juga bijaksana, dan tentang mimpi agar generasi kampus tidak sekadar mengejar teknologi, tapi menjemput masa depan dengan kepekaan. 

“Futuristik, bukan soal gawai tercanggih, tapi arah berpikir," katanya.

Gagasan itu menyentuh akar dari apa yang diyakini Muhammadiyah: bahwa kemajuan tidak boleh meninggalkan nilai. Dalam doktrin Muhammadiyah, pendidikan bukan hanya instrumen sosial, melainkan bentuk tertinggi dari amal jariyah—ilmu yang hidup dalam kehidupan orang banyak.

Inovasi yang Bersujud

Di Muhammadiyah, wirausaha bukan semata urusan ekonomi. Ia adalah jalan kemandirian, alat untuk menguatkan umat, dan ruang latihan karakter. Maka dari itu, mahasiswa Unismuh dilatih untuk menciptakan, bukan hanya mencari. Mereka tidak hanya didorong menjadi pelaku ekonomi, tapi juga penjaga nilai.

Unhas pun bergerak dalam semangat yang serupa. Di bawah kepemimpinan Prof. Jamaluddin, program-program inovasi kampus dirancang agar mahasiswa mampu menjawab masalah konkret di masyarakat. Wirausaha di Unhas bukan hanya tentang ide dan pasar, tetapi juga tentang menjahit solusi dari tantangan lokal.

Di titik inilah, relasi dua kampus ini menjadi lebih dari sekadar relasi kelembagaan. Ini adalah perjumpaan nilai: antara amal dan ilmu, antara inovasi dan iman.

Sebab di balik nama besar Universitas Hasanuddin dan kekokohan jaringan Muhammadiyah, tersimpan semangat yang sama: menjadikan pendidikan bukan hanya ruang produksi pengetahuan, tapi juga ladang pengabdian yang berakar pada nilai-nilai luhur.

Unhas, sebagai universitas negeri dengan jejak riset yang kuat, dan Unismuh, sebagai kampus dakwah dengan denyut keikhlasan dalam geraknya, tumbuh dalam ranah berbeda namun bernafas dengan tujuan serupa: menjadikan keilmuan sebagai jalan pulang menuju kemanusiaan.

Di sinilah pula, iman tak berseberangan dengan inovasi. Keduanya saling menguatkan, saling menyempurnakan. Karena iman sejati tak menjauh dari ilmu, dan inovasi sejati tak pernah kehilangan akarnya.

Maka, ketika Muhammadiyah bicara tentang berkemajuan, itu bukan soal kecepatan mengejar dunia, tapi keberanian memperbaiki niat dalam setiap langkah maju.

Dan ketika Unhas menekankan pentingnya efisiensi energi, digitalisasi, dan reformasi kurikulum, itu bukan semata soal modernisasi sistem, tapi bagaimana kampus menjadi lebih hadir bagi manusia. Inilah inovasi yang bersujud: bergerak cepat tapi tetap merunduk rendah hati kepada nilai.

Menyulam Jejaring Kebaikan

Dalam orasinya, Prof. Jamaluddin Jompa juga menyebut luka yang lama belum sembuh: ketimpangan pendidikan antara kawasan barat dan timur Indonesia. Ia menegaskan bahwa Unhas berkomitmen menjadi jembatan penyetara.

Komitmen ini pun sejiwa dengan misi Muhammadiyah—yang sejak awal berdakwah bukan di pusat-pusat kuasa, tapi di pinggir-pinggir sejarah.


>> Baca Selanjutnya