Lingkungan
Opini

Ekoteologi dan Wajah Tuhan: Refleksi Hari Bumi Ke-55 (Bagian Terakhir)

Syamsir

Oleh: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag*

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji ayat QS. Al-Baqarah [2]:115 dari sudut pandang ekoteologi Islam dalam konteks peringatan Hari Bumi. 

Ayat ini mengandung pesan teologis mendalam bahwa kehadiran Allah mencakup seluruh penjuru alam semesta, memberikan dasar spiritual terhadap perlunya menjaga dan merawat lingkungan sebagai bagian dari ibadah. Dengan menggunakan pendekatan tafsir tematik dan pandangan beberapa mufasir klasik serta kontemporer, tulisan ini menegaskan bahwa bumi bukan hanya objek fisik tetapi manifestasi dari kehadiran Tuhan, yang mengharuskan manusia bertindak sebagai khalifah dengan penuh tanggung jawab ekososial dan spiritual

Krisis lingkungan global yang mencakup perubahan iklim, kerusakan hutan, dan pencemaran air telah menimbulkan keprihatinan lintas agama. Dalam Islam, konsep lingkungan hidup sangat terkait dengan nilai ketauhidan dan tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah. QS. Al-Baqarah ayat 115 memuat prinsip fundamental yang membuka peluang besar untuk pendekatan ekoteologi.

Dalam ayat tersebut Allah berfirman:

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 115)

Ayat ini sering dimaknai secara normatif sebagai fleksibilitas arah kiblat, namun dalam perspektif ekoteologis, ayat ini menegaskan keberadaan Allah dalam setiap aspek dan penjuru alam, sehingga setiap ruang adalah sakral dan layak dijaga.


Islam dan Eko-teologi: Masa Depan Gerakan Hari Bumi. Credit: The New Arab.
Islam dan Eko-teologi: Masa Depan Gerakan Hari Bumi. Credit: The New Arab.

Kerangka Teoritis: Ekoteologi dalam Islam

Ekoteologi merupakan integrasi antara kesadaran ekologis dan keimanan teologis. Menurut Seyyed Hossein Nasr, krisis ekologi adalah krisis spiritual yang berakar pada alienasi manusia modern dari alam sebagai ciptaan Tuhan (Nasr, 1996). 

Dalam konteks Islam, konsep tauhid tidak hanya mengajarkan keesaan Tuhan, tetapi juga mengajarkan kesatuan dan keterkaitan seluruh ciptaan-Nya.

Prof Quraish Shihab dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan kemahaan Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan arah (Shihab, 2002). 

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa "wajah Allah" di sini merujuk pada kehadiran dan manifestasi-Nya dalam ciptaan, bukan wajah secara literal. Oleh karena itu, ayat ini dapat ditafsirkan sebagai dorongan untuk menyadari bahwa lingkungan adalah ruang ibadah dan tempat hadirnya Tuhan.

Tafsir Ekoteologis QS. Al-Baqarah 115

1. Allah sebagai Sentral Kesadaran Ekologis

Pemahaman bahwa Allah ada di segala penjuru membentuk kesadaran bahwa tidak ada ruang yang profan. Semua ruang adalah arena sakral di mana manusia harus hadir dengan etika ilahi. Dengan kata lain, membuang sampah di sungai atau menebang hutan tanpa reboisasi adalah tindakan tidak hormat kepada ruang yang dihadiri Allah.

2. Manusia sebagai Khalifah Ekologi

Konsep khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah: 30) menyiratkan bahwa manusia ditugaskan untuk memelihara bukan mengeksploitasi. Hal ini senada dengan konsep mizan (keseimbangan) dalam QS. Ar-Rahman: 7–9 yang menyuruh manusia untuk tidak melampaui batas dalam menggunakan sumber daya alam.

3. Wajah Allah dalam Ekosistem 

Ketika alam dipahami sebagai manifestasi dari “wajah Allah”, maka menjaganya menjadi bentuk ibadah ('amal salih). Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan pentingnya menyucikan lahir dan batin, termasuk menyucikan ruang kehidupan dari kerusakan (fasad).

Relevansi untuk Hari Bumi 

Peringatan Hari Bumi dapat dijadikan momen kontemplatif dan aksi nyata. Dalam perspektif Islam, kesadaran ekologis tidak lepas dari spiritualitas. Seorang Muslim tidak hanya diperintah untuk shalat, tetapi juga menjaga lingkungan sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Menghijaukan bumi, mengurangi sampah plastik, dan meminimalisasi jejak karbon adalah ibadah zaman kini.

Tafsir ekoteologis atas QS. Al-Baqarah 115 membuka cakrawala baru bahwa seluruh ruang adalah tempat hadirnya Tuhan, dan oleh karenanya harus dijaga dengan penuh tanggung jawab spiritual. Dengan menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran ekologis, Hari Bumi menjadi sarana untuk memperkuat kembali relasi manusia dengan alam dalam kerangka ketauhidan dan kasih sayang universal.

*Penulis adalah ASN Kemenag Maros

Daftar Referensi;

  • Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.
  • Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an. Lentera Hati.
  • Ar-Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghayb).
  • Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Dar al-Fikr.