UNHAS.TV - Dunia finansial kembali diguncang oleh demam cryptocurrency, dan gelombangnya kini makin deras di kalangan anak muda Indonesia.
Aset digital tanpa bentuk fisik ini digandrungi generasi milenial dan Gen Z sebagai “jalan baru” menuju kemerdekaan finansial. Tapi benarkah crypto adalah investasi masa depan? Atau justru hanya sekadar ilusi kaya cepat?
Euforia ini tak datang tiba-tiba. Di tengah stagnasi ekonomi global dan inflasi yang menghantam berbagai sektor, mata uang kripto muncul bak oase.
Berbasis teknologi blockchain yang terdesentralisasi, crypto menawarkan sistem keuangan yang bebas dari campur tangan otoritas pusat, seperti bank atau pemerintah. Inilah yang membuat banyak anak muda merasa crypto memberi mereka kendali penuh atas keuangan pribadi.
Namun, kenyataan tak selalu semanis harapan. Banyak dari investor pemula yang terjun tanpa pemahaman yang memadai, dan terjebak dalam fluktuasi pasar yang ekstrem. Bahkan tak sedikit yang kehilangan seluruh modalnya karena terjebak dalam hype semu.
Dalam program eksklusif Unhas Speak Up bersama Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), Prof Dr Marsuki DEA, menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyikapi fenomena ini.
“Crypto ini memang satu kemajuan dari demokrasi alat bayar, terutama di aset. Tapi sifatnya masih sangat spekulatif dan belum punya regulasi yang tetap baik secara nasional maupun global.
"Di Indonesia, statusnya masih sebagai barang, bukan alat uang. Maka risiko transaksi sepenuhnya ditanggung pemainnya,” jelas Prof. Marsuki.
Secara hukum, cryptocurrency di Indonesia saat ini belum diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Ia hanya dikategorikan sebagai komoditas digital yang diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Artinya, pengawasan yang dilakukan masih terbatas, dan belum menyentuh perlindungan menyeluruh bagi masyarakat luas, khususnya investor muda.
Tantangan Regulasi dan Perlindungan Konsumen
Dunia crypto tidak mengenal batas negara. Sifatnya lintas wilayah dan terhubung secara real-time melalui jaringan global yang kompleks. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam hal pengawasan dan perlindungan konsumen.
“Ini alat aset keuangan yang sifatnya kumulatif dan lintas negara. Kita tidak tahu siapa yang mengendalikan. Pemerintah harus ikut mengawasi.
Tidak cukup hanya Bappebti, tapi juga BI (Bank Indonesia). Anak muda harus berhati-hati. Mereka memang cepat beradaptasi, tapi kalau tidak siap, bisa jadi korban,” tegas Prof. Marsuki.
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa meski teknologi crypto memberi peluang luar biasa, namun tanpa regulasi yang kuat dan edukasi menyeluruh, risiko kerugian menjadi ancaman nyata, apalagi bagi investor pemula yang tertarik hanya karena janji keuntungan kilat.
Sebuah studi oleh OECD (2023) berjudul “Crypto Assets: Risks, Regulation and Market Trends” menyebutkan bahwa 60% investor kripto pemula mengalami kerugian dalam enam bulan pertama, terutama karena kurangnya pemahaman terhadap volatilitas pasar.
Selain itu, laporan dari Bank for International Settlements (BIS, 2022) menyatakan bahwa aset kripto cenderung tidak stabil dan tidak layak dijadikan instrumen penyimpan nilai (store of value) jangka panjang.
Di sisi lain, menurut artikel dalam Journal of Financial Regulation and Compliance (Kim & Kwon, 2024), pengawasan lintas negara terhadap crypto masih menghadapi tantangan harmonisasi kebijakan. Hal ini menyebabkan ruang manipulasi masih terbuka lebar, dan pengguna individu tetap rentan.
Dunia digital menyodorkan banyak peluang, tetapi juga jebakan. Generasi muda dituntut tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki literasi finansial, kesadaran hukum, dan kehati-hatian dalam berinvestasi.
Pemerintah dan lembaga pendidikan diharapkan bisa bersinergi menghadirkan program edukasi yang membekali masyarakat dengan wawasan yang benar sebelum terjun ke pasar crypto.
Di sisi lain, regulasi yang lebih progresif dan menyeluruh perlu segera dibentuk agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga pelindung warganya.
Pilihan ada di tangan generasi muda. Tapi perlindungan dan edukasi adalah tanggung jawab bersama.
(Andi Putri Najwah / Unhas.TV)