Di Epicentrum, seusai menyaksikan Eva, saya jumpa produsernya Anwar Mattawape. Dia adalah pengusaha yang berlatar pencinta alam. Dia bercerita tentang niatnya untuk menyelipkan pesan-pesan lingkungan melalui genre horor.
Alumnus Fakultas Teknik Unhas ini menjelaskan, dalam film Eva, ada ekspresi jari telunjuk di depan bibir. Dia melihat itu sebagai kode budaya agar kita tidak gaduh di alam. Sebagai tamu, yang menjelajah alam, kita lebih baik mendengarkan suara-suara alam, tanpa melakukan perusakan.
BACA: Seusai Bahlil Lahadalia Berkunjung ke Pulau Buton
Saya teringat film Avatar yang dibuat James Cameron. Saat seorang marinir Jake Sully mengekspolrasi Planet Pandora dengan senjata yang sering menyalak, dia diserbu hewan liar. Naytiri, seorang warga lokal, menyelamatkannya, sembari menghardik Jake Sully untuk diam dan tidak gaduh. “You like a baby,” katanya.
Mengingat ini, saya mendapat pencerahan baru. Gerakan lingkungan akan lebih efektif jika menggunakan semua genre bercerita, termasuk menggunakan eco-horror. Lewat kisah-kisah itu, kita diajak untuk melihat alam bukan sebagai obyek mati yang diam, melainkan sesuatu yang dinamis, dan bisa memberi respon atas tindakan manusia.
Alam pun bisa murka jika kita tidak memelihara dan merawatnya. Kita bisa lihat dalam berbagai narasi bencana, mulai banjiir hingga kebakaran hutan yang menghanguskan rumah-rumah mewah di California.
Entah apa yang terjadi di sana, yang pasti, alam punya mekanisme sendiri untuk menghukum manusia atas tindakan yang abai pada alam, mengeksploitasi tanpa batas, dan meminggirkan manusia lain.
Persis kata Jake Sullly; “Sometime your whole life boils down to one insane move.”
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Sekarang tinggal di Bogor, Jawa Barat.