
Ketika berjalan melewati Galleria dell’Accademia dan berdiri di hadapan patung David karya Michelangelo, saya merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman pada seni. Tubuh David terpahat dengan kesempurnaan detail, namun yang lebih menohok adalah tatapan matanya, penuh keteguhan dan kesadaran.
Michelangelo mengukir bukan hanya batu, tapi gagasan tentang keberanian manusia menghadapi kekuatan besar. Ia memulai karyanya dalam keheningan, dengan keyakinan bahwa setiap bongkah marmer menyimpan sosok yang menunggu untuk dibebaskan.
Ia, seperti Florence sendiri, percaya bahwa keindahan dan makna dapat dilahirkan dari keterbatasan.
Karya Michelangelo menjadi metafora Renaissance: sebuah zaman di mana manusia berdiri tegak menghadapi takdirnya sendiri.
BACA: Praha dan Vaclac Havel, Kota dan Budaya Demokrasi
Selain Leonardo dan Michelangelo, Florence juga melahirkan tokoh-tokoh besar lainnya: Brunelleschi, sang arsitek jenius yang membangun kubah Duomo tanpa perancah; Botticelli, pelukis yang merayakan keindahan tubuh manusia; Machiavelli, pemikir yang dari pengasingan menulis Il Principe dan mengguncang konsep kekuasaan tradisional.

Mereka semua hidup dalam kota yang — meski kecil — memberi tempat bagi perbedaan, ide liar, dan eksperimen intelektual. Florence menunjukkan bahwa kemajuan bukanlah hasil sumber daya besar, tetapi buah dari keberanian kolektif untuk percaya pada pengetahuan.
Bagi orang-orang abad ke-15, Renaissance bukan sekadar gerakan budaya; ia adalah cahaya masa depan. Dunia baru terbuka: manusia boleh bermimpi memahami alam, menciptakan seni untuk merayakan hidup, dan berpikir melampaui dogma.
Galileo menatap langit bukan untuk menyembah, tapi untuk memahami. Leonardo membayangkan mesin terbang jauh sebelum Wright bersaudara. Brunelleschi menantang hukum fisika zamannya.
Ketika berjalan menyusuri Piazza della Signoria menjelang senja, saya melihat cahaya matahari menyapu bangunan-bangunan bersejarah. Rasanya seolah saya melangkah di antara bayangan para pemikir, seniman, dan pelaku sejarah yang pernah hidup di sini.
Florence bukan sekadar destinasi wisata — ia adalah ruang kontemplasi, tempat kita merasakan bagaimana mimpi kecil dapat mengubah sejarah besar.
Renaissance mengajarkan bahwa kebebasan intelektual adalah fondasi peradaban, dan perubahan besar sering bermula dari komunitas kecil yang percaya pada ide. Masa depan selalu lahir dari mereka yang berani berpikir melampaui zamannya — sama seperti Florence lima abad lalu.
Florence membuktikan kepada dunia bahwa perubahan tidak harus lahir dari kota besar. Ia lahir dari keberanian bermimpi, dari ruang yang memelihara pikiran bebas, dan dari masyarakat yang percaya pada kekuatan ide.
“Jika Renaissance adalah api peradaban, maka Florence adalah percikan pertamanya.”
Dari kota kecil inilah dunia belajar: mimpi besar dapat mengubah arah sejarah. Dan ketika saya melangkah pelan di antara lorong-lorong batu berusia ratusan tahun, saya sadar — Florence bukan sekadar tempat yang pernah membakar api masa lalu.
Florence adalah cermin masa depan, pengingat abadi bahwa peradaban tumbuh dari keberanian manusia untuk bermimpi.
*Eka Sastra adalah Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Ekonomi (IKAIE) Universitas Hasanuddin






-300x180.webp)

