UNHAS.TV - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia di awal tahun 2025 menjadi sorotan tajam. Data mencatat sebanyak 60 ribu pekerja kehilangan mata pencaharian hanya dalam dua bulan pertama.
Situasi ini memaksa para pekerja yang terdampak untuk mengambil keputusan sulit, apakah tetap bertahan di kota dengan risiko menjadi pengangguran, atau kembali ke desa dengan harapan mencari penghidupan baru.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr M Ramli AT MSi, memberikan pandangannya dalam program siniar Unhas Speak Up, Jumat (16/5/2025).
Ramli menekankan bahwa anggapan bahwa kembali ke desa adalah solusi otomatis bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan di kota perlu dikaji lebih dalam.
"Seringkali orang mengira, kehilangan pekerjaan di kota itu solusinya pulang kampung, padahal situasinya di pedesaan juga mengalami permasalahan di tenaga kerja," ujarnya.
"Seperti di sektor pertanian yang juga menghadapi isu efisiensi. Sehingga, pilihan pulang kampung tidak serta merta menyelesaikan masalah," ujar Ramli.
Lebih lanjut, Ramli menyoroti beban sosiologis yang dialami oleh para pekerja yang terkena PHK. Kehilangan pekerjaan bukan hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada identitas dan status sosial individu.
"Dulu orang tahu kita bekerja, sekarang tidak. Itu menjadi beban sosiologis tersendiri bagi pekerja," jelasnya.
Dampak PHK juga merembet pada aspek psikologis dan kehidupan keluarga. Kehilangan sumber pendapatan dapat memicu tekanan psikologis yang berat dan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga.
"Apabila sedikit saja perubahan ekonomi terjadi itu sangat terasa, itu disebut kelompok subsistem. Ibarat berdiri di air, kalau bergerak sedikit saja sudah tenggelam. Itu berat bagi kelompok sosial tersebut," bebernya menggambarkan betapa rentannya kelompok pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Dalam konteks kebijakan publik, peneliti sosial kemasyarakatan ini menekankan pentingnya perhitungan matang terkait dampak ketenagakerjaan dalam setiap pembangunan sektor usaha.
"Suatu kebijakan publik yang bagus harus menghitung ketika sektor usaha dibangun efeknya, berapa tenaga kerja yang dibutuhkan, berapa tenaga kerja yang diputuskan nantinya. Dampak keputusan itu yang harus dipikirkan betul," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Ramli menyerukan adanya kebijakan yang lebih berpihak pada tenaga kerja, terutama bagi mereka yang baru memasuki dunia kerja.
"Harus menciptakan kebijakan yang friendly untuk tenaga kerja, apalagi tenaga kerja baru. Menyediakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja saat ini menjadi kunci utama," pungkasnya.
Gelombang PHK ini menjadi pengingat akan kompleksitas permasalahan sosial dan ekonomi di perkotaan, serta perlunya solusi yang komprehensif dan terukur, baik di tingkat kota maupun desa, untuk melindungi dan memberdayakan para pekerja
Ia juga memberi semangat pada korban PKH "Sangat penting menjaga semangat dan tetap bertahan, maka kita harus bergegas di dunia yang begitu cepat dengan beradaptasi juga dengan cepat dan tetap menjadi bagian yang dibutuhkan," tutupnya.
(Amina Rahma Ahmad / Unhas.TV)