JAKARTA, UNHAS.TV - Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah mengirimkan mengirimkan surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Meskipun surat itu belum dibuka secara umum dan masih sampai di tangan Sekjen DPR RI, namun isi surat tersebut sudah beredar di sejumlah wartawan. Beberapa butir dari isi surat tersebut menyinggung mengenai beberapa penyimpangan yang terjadi sehingga Gibran Rakabuming Raka bisa terpilih sebagai Wakil Presiden RI. Juga turut disinggung mengenai akun Fufufafa yang diduga berkaitan dengan Gibran Rakabuming Raka. Berikut ini isi surat Forum Purnawirawan Prajurit TNI:
Jakarta, 26 Mei 2025
Nomor: 003/FPPTNI/V/2025
Lampiran: 1 (satu) lembar
Perihal: Usulan Pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
Kepada Yth.
1. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Periode Tahun 2024—2029
2. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode Tahun 2024—2029 di Jakarta
Assalaamu’alaikum Wr. Wb. Salam kebangsaan dan salam sejahtera kami ucapkan untuk Bapak/Ibu Ketua dan seluruh anggota serta seluruh jajaran MPR RI dan DPR RI. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Aamiin ya rabbal alamin. Kami, Forum Purnawirawan Prajurit TNI memberikan dukungan penuh kepada Presiden Prabowo Subianto.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjunjung tinggi konstitusi, etika kenegaraan, dan prinsip demokrasi yang sehat, menyampaikan pandangan hukum terhadap proses politik dan hukum yang mengantarkan Sdr. Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia Periode Tahun 2024—2029.
Dengan ini kami mengusulkan kepada MPR RI dan DPR RI untuk segera memproses pemakzulan (impeachment) terhadap Wakil Presiden berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
I. DASAR KONSTITUSIONAL
(1) UUD 1945 amandemen III
Pasal 7A: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B: Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) TAP MPR RI No. XI/1998
Pasal 4: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
(3) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (2): “Mahkamah Konstitusi memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden.”
(4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 3 ayat (1): “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian pengadilan.”
Pasal 17 ayat (5): Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Pasal 17 ayat (6): Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17 ayat (7): Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.