Opini

Jangan Salahkan Menteri Purbaya




Kata yang merangkul saat perbedaan hampir menjelma perpecahan, sehingga orang merasa tetap bagian dari satu rumah besar bernama bangsa. Kata yang menyalakan harapan saat arah terasa kabur, sehingga publik percaya masa depan masih bisa diperjuangkan bersama.

Kata, dalam konteks kepemimpinan, adalah jembatan batin antara rakyat dan negara. Ia lebih kuat daripada pagar istana atau gedung parlemen, sebab kata bisa menembus batas yang tak bisa dijangkau fisik.

Pemimpin yang memilih kata dengan hati, seolah hadir di ruang tamu rakyat, menyapa langsung, memberi rasa tenang. Sebaliknya, pemimpin yang salah memilih kata, terasa jauh meski berdiri di podium yang tinggi.

Kata juga adalah penanda moral. Dari satu kalimat bisa terlihat apakah seorang pemimpin peduli atau tidak, jujur atau berpura-pura, berani menghadapi kenyataan atau hanya menutupinya.

Rakyat, betapapun sederhana, mampu menangkap getar itu. Statistik bisa menipu, grafik bisa dimanipulasi, tetapi nada suara dan pilihan kata sulit disamarkan.

Karena itu, sejarah mencatat pemimpin besar bukan hanya melalui kebijakannya, tetapi juga melalui kata-katanya. Kata-kata bisa menghidupkan semangat di tengah perang, bisa menyatukan bangsa yang terpecah, bisa menenangkan hati yang terluka.

Dari kata lahir legitimasi sejati, legitimasi yang tidak bisa dibeli dengan proyek atau angka pertumbuhan, melainkan dengan rasa percaya bahwa negara sungguh ada untuk rakyatnya.

Sejarah mengajarkan, kadang yang menggerakkan bangsa bukanlah kebijakan, melainkan kalimat pada momen yang tepat. Winston Churchill, Nelson Mandela, Jacinda Ardern, semua menunjukkan bahwa lidah pemimpin bisa jadi jembatan, bukan jurang.

Maka jangan salahkan Purbaya. Ia hanya mengikuti jejak lama yang diwariskan budaya feodal. Yang patut kita kritisi adalah sistem yang membiarkan pejabat bicara tanpa rasa. Sebab pada akhirnya, lidah seorang pejabat adalah lidah negara. Bila ia terus melukai, yang runtuh bukan hanya dirinya, tetapi juga martabat bangsa.

Dan mungkin benar kata Chairil Anwar dalam puisinya: “Sekali berarti, sesudah itu mati.” Kalimat seorang pemimpin, bila sungguh berarti, bisa hidup jauh lebih lama dari usia jabatan. Tetapi bila salah ucap, ia bisa mengubur martabat, bahkan sebelum kekuasaan itu berakhir.(*)


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.