Budaya
Internasional

Jejak Peradaban Islam dari Spanyol hingga Suriah Hadir di Balai Lelang Sotheby’s London


Lampu Masjid Berlapis Emas dari Era Mamluk, Abad ke-14. Salah satu artefak ikonik dalam lelang Arts of the Islamic World & India di Sotheby’s London, lampu kaca ini merupakan peninggalan Kesultanan Mamluk di Mesir. Dihiasi kaligrafi kufi dan motif arabes, benda ini dulunya menggantung di langit-langit masjid, melambangkan cahaya Ilahi. Karya ini mencerminkan puncak kejayaan seni Islam pada masa Mamluk, ketika keindahan dan spiritualitas berpadu dalam bentuk yang fungsional dan artistik. Credit:  Sotheby's.
Lampu Masjid Berlapis Emas dari Era Mamluk, Abad ke-14. Salah satu artefak ikonik dalam lelang Arts of the Islamic World & India di Sotheby’s London, lampu kaca ini merupakan peninggalan Kesultanan Mamluk di Mesir. Dihiasi kaligrafi kufi dan motif arabes, benda ini dulunya menggantung di langit-langit masjid, melambangkan cahaya Ilahi. Karya ini mencerminkan puncak kejayaan seni Islam pada masa Mamluk, ketika keindahan dan spiritualitas berpadu dalam bentuk yang fungsional dan artistik. Credit: Sotheby's.

Warisan Mamluk: Kekuasaan yang Berjejak dalam Kaligrafi

Kesultanan Mamluk (1250–1517), yang pada masa jayanya membentang dari Turki selatan hingga Mesir, dikenal tidak hanya karena kekuatan militernya, tetapi juga karena patronase seninya yang luar biasa. Di bawah Mamluk, seni dekoratif seperti kaca, tekstil, dan ukiran kayu berkembang pesat, dan yang paling diagungkan adalah naskah-naskah berhias indah—khususnya mushaf Al-Qur’an.

Mushaf-mushaf Mamluk yang dibuat di Kairo, Damaskus, atau Aleppo terkenal karena iluminasi (hiasan manuskrip) yang rumit dan megah. Gaya ini bahkan memengaruhi seni manuskrip di Eropa abad pertengahan. Motif geometris berbentuk bintang atau heksagonal, hiasan emas, dan margin lebar menjadi ciri khasnya. Beberapa di antaranya bahkan mencapai tinggi monumental: 105 cm per halaman.

Lot utama kali ini menampilkan keunikan luar biasa. Naskah tersebut memadukan khat Naskhi yang elegan dengan Thuluts yang megah—gaya kaligrafi yang sering menghiasi kubah dan dinding masjid. Warna emas, merah, dan biru berpadu dalam komposisi yang menjadikan teks suci tak hanya dibaca, tetapi juga direnungi melalui keindahan visualnya.

Nama yang Terlupakan, Karya yang Abadi

Yang membuat mushaf ini istimewa bukan semata ukurannya, melainkan sang penyalin: Muhammad Abu al-Fadl ibn ‘Abd al-Wahhab al-A‘raj. Ia hidup di masa Sultan Al-Ashraf Qansuh al-Ghawri (1501–1516), penguasa Mamluk terakhir yang terkenal karena kecintaan dan strategi politiknya dalam seni.

Sultan Qansuh bukan hanya membiayai pembangunan dan restorasi dua kota suci, Mekkah dan Madinah, tetapi juga mendorong produksi karya seni untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya. Abu al-Fadl adalah bagian dari proyek itu—sembilan manuskrip karyanya kini disimpan di Istana Topkapı, Istanbul, bekas pusat kekuasaan Sultan Utsmani.

Dalam catatan sejarah, Sultan Qansuh diketahui secara langsung memesan mushaf-mushaf berukuran besar seperti ini. Salah satunya—karya kaligrafer Tanam al-Najmi pada 1489—dijual di Christie’s London pada 2 Mei 2019 seharga £3,7 juta (sekitar US$4,9 juta), padahal taksiran awalnya sama dengan lot yang kini dilelang.

Menjaga Warisan Lewat Lelang

Meski lelang kerap memicu perdebatan terkait keberlanjutan dan etika kepemilikan warisan budaya, tak bisa dimungkiri bahwa momen seperti ini membuka ruang apresiasi baru bagi publik terhadap warisan seni Islam. Seperti dikutip dari laporan The Value, acara lelang kali ini bukan sekadar transaksi, melainkan juga pengakuan global atas kekayaan peradaban yang pernah menjangkau dari Spanyol hingga Suriah.

Menyusuri satu per satu benda dalam lelang ini, seolah menapaki lorong waktu yang menyatukan nilai spiritual, estetika, dan sejarah—dan mengingatkan kita bahwa seni Islam bukan hanya warisan, melainkan narasi hidup yang terus mengalir dari masa lalu menuju masa depan. (*)