Ekonomi

Jusuf Kalla Soroti Pelemahan Ekonomi, Koperasi Merah Putih, dan MBG

IAIE - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prof Mursalim Nohon dan Ketua IAIE Dr Eka Sastra mengapit Jusuf Kalla.

MAKASSAR, UNHAS.TV - Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK) menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah yang belum bisa jadi patokan untuk membuat perekonomian negara membaik. Hal itu terlihat dari daya beli masyarakat yang makin rendah dan kecenderungan penerimaan pajak menurun ke arah yang mengkhawatirkan.

Beberapa indikator lainnya juga menunjukkan pola serupa. Sebagai contoh, rasio pajak (tax ratio) menurun 11,5 persen (2014) menjadi 10,08 persen di tahun 2024. Jika kecenderungan ini tetap terjadi maka proyeksi tax ratio Indonesia akan berada di bawah 10 persen pada periode 2025-2026.

Jusuf Kalla menegaskan hal itu saat berbicara sebagai pembicara kunci pada Sarasehan Ekonomi "Jalan Baru Ekonomi Indonesia: Evaluasi dan Rekonstruksi Strategi Pembangunan Indonesia" yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas) di Arsjad Rasjid Lecture Theater, Kampus Unhas, Makassar, Senin (15/12/2025).

Dalam paparannya, JK menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada pada kategori negara berpendapatan menengah, dengan pendapatan per kapita sekitar USD 5.000–15.000. Untuk mencapai target Indonesia Emas, menurutnya, pendapatan nasional harus meningkat hingga empat kali lipat agar dapat masuk kategori negara berpendapatan tinggi.

"Kalau kita ingin Indonesia Emas, maka pendapatan per kapita harus di atas USD 15.000. Artinya ekonomi kita harus naik sekitar empat kali lipat dari sekarang," ujar JK.

Namun, JK mengingatkan bahwa upaya tersebut terhambat oleh kesalahan kebijakan ekonomi, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Ia menilai insentif fiskal seperti tax holiday justru lebih banyak diberikan kepada sektor pertambangan, bukan kepada sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan transfer teknologi.

Jusuf Kalla juga menyoroti beberapa kebijakan yang kontraproduktif semisal pemotongan transfer ke daerah (TKD) yang berakibat 75 persen provinsi tergantung TKD dan 85 persen kabupaten/kota tergantung TKD, serta jutaan tenaga honorer terancam tidak diperpanjang. Ini karena pemotongan drastis TKD akan melumpuhkan kemampuan daerah memberikan layanan publik dan menjalankan fungsi pemerintah.

Kebijakan kontraproduktif lainnya yakni program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menghabiskan ruang fiskal. Anggaran MBG telah menghabiskan Rp 335 triliun atau hampir menghabiskan seluruh ruang fiskal. Program ini juga memaksa pergeseran anggaran vital: pendidikan, kesehatan, sosial, dan TKD.

Kebijakan lain yang turut disoroti yakni Koperasi Desa Merah Putih yang berisiko tinggi karena sumber pendanaan menggunakan pinjaman dari bank Himbara dengan jaminan Dana Desa. Penyalursan dana per koperasi sebesar Rp 3 miliar dilaksanakn secara top-down dengan konsepp tidak jelas.

Itu belum termasuk data terbaru bahwa berdasarkan pengalaman Bumdes, hanya 5 persen berhasil. Tingkat keberhasilan koperasi Desa Merah Putih bahkan bisa di bawah 5 persen.

Selain itu, Jusuf Kalla menyoroti lemahnya kepastian hukum dan sering berubahnya regulasi yang membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia. Kondisi tersebut, menurutnya, menyebabkan investasi Indonesia kalah dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia.(*)