NAGOYA, UNHAS.TV - Selama ini kita mengenal Bumi sebagai “planet biru”—sebutan yang didasarkan pada luasnya samudra yang menutupi sekitar tiga perempat permukaannya.
Namun, sebuah studi terbaru mengingatkan bahwa warna lautan kita bisa berubah drastis di masa depan. Bahkan, warnanya bisa menjadi ungu.
Menurut laporan Digiato yang dirilis pada 3 Mei 2024, para ilmuwan dari Universitas Nagoya, Jepang, mengungkap bahwa kondisi kimiawi tertentu di masa depan, seperti peningkatan sulfur dan menurunnya kadar oksigen di lautan, bisa menyebabkan air laut memantulkan cahaya dalam spektrum yang berbeda.
Dalam kondisi kekurangan oksigen dan kaya sulfur, panjang gelombang cahaya ungu bisa mendominasi lingkungan bawah laut.
Temuan ini dimuat dalam jurnal Nature Ecology & Evolution, yang membahas bagaimana warna lautan Bumi telah berubah selama miliaran tahun dan bisa kembali berubah di masa mendatang.
Menurut penelitian tersebut, antara 3,8 hingga 1,8 miliar tahun lalu—masa yang dikenal sebagai eon Arkean—lautan Bumi justru berwarna hijau, bukan biru.
Warna hijau ini muncul karena kadar zat besi yang tinggi, hasil dari pelapukan batuan benua yang larut oleh hujan dan terbawa sungai ke laut, serta dari aktivitas gunung api bawah laut.
Air laut yang kaya zat besi ini menyerap cahaya merah dan biru, sementara cahaya hijau dipantulkan, memberi warna khas pada laut saat itu.
Dalam artikel Nature Ecology & Evolution edisi April 2024, tim peneliti yang dipimpin Taro Matsuo menggunakan simulasi spektroskopi untuk memperlihatkan dominasi cahaya hijau di lautan kuno.
Mereka juga menemukan bahwa bakteri sianobakteri—organisme hidup pertama di Bumi—memiliki pigmen khusus bernama phycoerythrobilin yang menyerap cahaya hijau dengan sangat efisien.
Adaptasi inilah yang memungkinkan mereka bertahan dan akhirnya memulai proses fotosintesis oksigenik, yaitu produksi oksigen sebagai hasil sampingan fotosintesis.
Dalam laporan ScienceAlert tanggal 1 Mei 2024, dijelaskan bahwa reaksi oksigen yang dihasilkan oleh sianobakteri dengan zat besi ferus menyebabkan pengendapan zat besi sebagai ferri (besi oksida), yang tak larut dan membentuk partikel seperti karat.
Zat ini menyerap cahaya biru, sedangkan air menyerap cahaya merah—sehingga hanya hijau yang tersisa.
Temuan ini tidak hanya berfungsi sebagai kilas balik ke masa lalu geologis Bumi, tapi juga sebagai cermin masa depan.
Model teoretis dari tim Universitas Nagoya menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas vulkanik dan perubahan iklim dapat menggeser komposisi kimia lautan secara ekstrem.
Dalam skenario seperti itu, lautan yang dulunya biru bisa berubah menjadi ungu akibat dominasi panjang gelombang tersebut dalam spektrum cahaya bawah laut.