UNHAS.TV - Di balik senyum ceria para remaja perempuan yang mengisi ruang-ruang kelas atau kedai kopi, ada kondisi kesehatan yang diam-diam membayangi sebagian dari mereka, skoliosis.
Sebuah kelainan tulang belakang yang menyebabkan tubuh melengkung tidak normal, seperti huruf S atau C, dan menariknya, lebih dari 70 persen penderitanya adalah wanita.
Menurut seorang dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, Dr. dr. Yose Waluyo, SpKFR., MS(K), prevalensi skoliosis yang tinggi pada wanita bukan sekadar kebetulan.
Ia menjelaskan bahwa faktor hormonal berperan besar terhadap kondisi ini. “Skoliosis umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Kurvanya biasanya tidak meningkat setelah dua atau tiga tahun menstruasi pertama,” jelas dokter Yose kepada Unhas TV.
Dengan kata lain, masa pubertas menjadi penanda penting dalam perkembangan skoliosis, khususnya pada wanita.
Setelah seorang perempuan mengalami menstruasi pertama, perkembangan kelengkungan tulang belakangnya cenderung stabil, tidak semakin parah.
Hal ini berbeda dengan pria, di mana perkembangan skoliosis bisa terus berlanjut dan dalam beberapa kasus bisa lebih berat, meskipun prevalensinya jauh lebih rendah.
Dokter Yose juga menambahkan bahwa dalam praktik kesehariannya, lebih dari 70 persen pasien skoliosis yang ia tangani adalah wanita.
“Kalau dari pengalaman saya pribadi, pasien wanita jauh lebih banyak. Literaturnya juga mendukung angka ini,” ucapnya.
Namun, mengapa wanita lebih rentan terhadap skoliosis masih menjadi pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab dalam dunia medis.
Beberapa teori menyebutkan kemungkinan pengaruh fleksibilitas jaringan otot dan ligamen yang lebih tinggi pada wanita, perubahan hormon estrogen saat pubertas, serta perbedaan struktur panggul yang lebih lebar yang memengaruhi postur tulang belakang.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Spine Journal pada tahun 2020 menyatakan bahwa insidensi skoliosis idiopatik (skoliosis tanpa penyebab yang jelas) adalah 10 kali lebih tinggi pada remaja perempuan dibanding laki-laki.
Studi ini dilakukan pada lebih dari 8.000 remaja usia 10–16 tahun, dan menemukan bahwa perempuan juga lebih mungkin memerlukan pengobatan lanjutan seperti brace atau pembedahan, dibanding pria.
Dalam data dari American Association of Neurological Surgeons (AANS), disebutkan bahwa sekitar 2–3% populasi dunia menderita skoliosis, dan perempuan memiliki kemungkinan 8 kali lebih besar untuk mengalami kurva tulang belakang yang progresif dan membutuhkan penanganan medis serius.
Deteksi Dini Adalah Kunci
>> Baca Selanjutnya